Lihat ke Halaman Asli

Vunny Wijaya

Analis/Pemerhati Kebijakan Publik - Peneliti Sosial

Pro-Kontra Bank Tanah di Indonesia, Mencermati Praktiknya di Amerika dan Belanda

Diperbarui: 31 Januari 2023   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi lahan pertanahan(Unsplash/Juan Cruz Mountford)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2022 tentang Penambahan Modal Badan Bank Tanah pada 31 Desember 2022, setelah meluncurkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja Nomor 2/2022 pada 30 Desember 2022 lalu. Sebagai tindak lanjut, pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp500 miliar kepada Badan Bank Tanah.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Raja Juli Antoni (2022) menyampaikan bahwa salah satu manfaat langsung yang akan didapatkan, dari hadirnya Bank Tanah adalah sebanyak minimal 30 persen dari tanah negara yang dihimpun melalui Bank Tanah, akan diredistribusikan kepada masyarakat. 

Dengan adanya redistribusi, tanah-tanah yang sebelumnya berupa aset diam diharapkan bisa berubah semakin produktif di tangan masyarakat. 

Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto (2023), menyampaikan bahwa target perolehan tanah Bank Tanah pada 2023 seluas 20 ribu hektar (Ha).

Berdirinya Bank Tanah diharapkan menjadi salah satu upaya untuk mendorong manajemen pertanahan yang lebih komprehensif. Selain itu, juga diharapkan dapat mendorong keberhasilan kebijakan Ekonomi Berkeadilan.

Menurut Darmin Nasution (2017), kebijakan Ekonomi Berkeadilan mencakup tiga area pokok.

Pertama, kebijakan berbasis lahan, yang meliputi reforma agraria, pertanian, perkebunan, dan lain-lain.

Kedua, kebijakan berbasis kesempatan, di antaranya: sistem pajak berkeadilan dan information and communication technology (ICT).

Ketiga, kebijakan berbasis peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang meliputi vokasi, kewirausahaan, dan pasar tenaga kerja. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa terjadi 241 kasus konflik agraria di tahun 2020. Total kasus tersebut tersebar di 359 daerah dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline