Di dunia ini, manusia bisa dibagi paling tidak menjadi dua golongan besar: yang memotret makanan dulu sebelum makan, dan yang sudah makan sebelum makanan itu matang. Yang pertama adalah kaum perfeksionis visual, followers-nya aesthetic TikTok accounts, dan yang kedua adalah kaum perut keroncong, yang bahkan sanggup makan telur mentah kalau disuruh milih antara itu atau menunggu 20 menit buat nasi goreng yang Instagramable (ini dramatisasi ya…baca aja tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya hobi bikin dramatisasi di tulisan).
Tapi di antara dua golongan ini, ada satu pertanyaan filosofis yang kayanya sering diabaikan oleh sejarah peradaban umat manusia: "Kenapa makanan dari Jepang dan Cina sering banget kelihatan cantik, rapi, penuh warna, dan sehat, sedangkan makanan kita... terlihat seperti hasil bentrok dua gajah di ladang cabe?”. Jangan salah, ini bukan hanya masalah plating. Menurut saya ini adalah masalah estetika nasional, kesehatan publik, dan harga diri bangsa.
Dari Bento ke Nasi Padang: Sebuah Kontras Visual
Mari kita mulai dari bento.
Bento Jepang itu seperti presentasi PowerPoint dari seorang perfectionist: ada warna, ada komposisi, ada struktur, dan (yang paling penting) ada jarak antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tidak ada yang saling tumpang tindih. Tidak ada kuah tercecer. Tidak ada cabai yang ‘ngemper’ di pojok kotak. Semua terasa seperti simfoni visual yang bisa dimakan.
Bandingkan dengan… nasi Padang.
Jangan salah paham. Nasi Padang adalah kuliner surgawi! Tapi secara visual, dia adalah chaos theory dalam bentuk makanan. Kita tidak tahu di mana ayam berakhir dan di mana rendang bermula. Kuahnya menyatu seperti NATO dalam piring. Warnanya satu spektrum: cokelat, kuning, dan… lebih banyak cokelat.
Filosofi di Balik Sumpit dan Sendok
Mengapa Cina dan Jepang begitu memerhatikan estetika dalam makanannya?
Jawabannya mungkin bisa ditemukan dalam filsafat kuno dan budaya ritual yang mereka wariskan selama ribuan tahun.
Dalam budaya Jepang, prinsip estetika seperti wabi-sabi (keindahan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan) serta shun (menghargai bahan makanan pada musim terbaiknya) mempengaruhi cara mereka menyajikan makanan. Sebuah studi dari jurnal Appetite (Kawabata, 2017) menyebutkan bahwa orang Jepang percaya bahwa cara makanan disajikan mempengaruhi seberapa besar kenikmatan dan rasa hormat terhadap makanan itu.
Dalam tradisi Cina, makan bukan sekadar aktivitas biologis, melainkan juga ritual moral dan sosial. Konsep harmoni—baik dalam rasa, warna, suhu, dan bahkan cara duduk bersama—merupakan warisan dari ajaran Konfusianisme. Seperti dijelaskan dalam buku A History of Food Culture in China oleh Rongguang Zhao (2015), prinsip he (和) atau harmoni dalam makanan mencerminkan nilai-nilai Konfusian seperti moderasi, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap tatanan sosial maupun alam..
Sementara itu, filosofi makan di Indonesia bisa diringkas dengan satu kalimat populer: “Yang penting kenyang” atau “Yang penting nasi.”
Satu Piring, Lima Warna, Enam Rasa, Tujuh Nutrisi
Makanan Jepang dan Cina memiliki semacam template nutrisi dalam tiap sajian.
Di Jepang, konsep Ichiju Sansai (satu sup, tiga lauk) adalah struktur makan yang mendorong keseimbangan nutrisi.
Di Cina, ada prinsip color balance dalam makanan: setiap warna menyumbang nutrisi yang berbeda. Misalnya:
•Hijau = klorofil (mis. sayur)
•Merah = lycopene (mis. tomat)
•Putih = antioksidan (mis. bawang putih)
•Hitam = zat besi (mis. jamur hitam)
•Kuning = vitamin C (mis. labu)