Lihat ke Halaman Asli

Averus Sina

Mahasiswa

Pajak Penghasilan dalam Transaksi E-Commerce

Diperbarui: 1 Januari 2019   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Isu yang paling signifikan yang timbul dalam transaksi e-commerce untuk pajak penghasilan adalah yang berhubungan dengan yurisdiksi pemajakan dan karakterisasi penghasilan itu sendiri. 

Pada dasarnya setiap ada pembayaran ke luar negeri harus dikenakan PPh Pasal 26. Namun, bila Wajib Pajak Luar Negeri memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dan atas penghasilan yang didapatkan memiliki hubungan efektif dengan BUT tersebut, maka akan digolongkan sebagai laba usaha BUT.

Dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi e-commerce yang dilakukan perusahaan luar negeri kepada badan atau individu yang berdomisili di Indonesia, sangat penting untuk mengidentifikasi terlebih dahulu adanya Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau tidak. 

Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, mengindikasikan bahwa keberadaan di Indonesia ditunjukkan dengan adanya kehadiran fisik. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, maka kegiatan ini tidak menimbulkan suatu BUT. 

Dengan karakteristik usaha e-commerce, kehadiran BUT di dalam negeri tidak lagi diperlukan. Sementara itu subjek pajak luar negeri dapat melakukan usahanya di dalam negeri secara bebas.

Jika penjualnya dari luar negeri, tentu pemajakannya akan berbeda dengan penjual dalam negeri. Apalagi dengan kondisi bahwa untuk penghasilan selain yang diatur dalam PPh Pasal 26, pajak baru akan dikenakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Atas kesulitan tersebut dan karena belum ada aturan secara internasional, maka pemerintah hanya fokus pada penjualan dalam negeri. 

Walaupun dalam UU PPh Pasal 2 (5) telah disebutkan bahwa salah satu penentu adanya BUT adalah dengan kehadiran server di negara sumber, namun dalam P3B yang berlaku saat ini belum diatur mengenai kehadiran server tersebut. Sehingga perlu diatur kembali definisi BUT dalam P3B yang berlaku saat ini. Namun, kendala yang dapat timbul dari penetapan sebuah server sebagai BUT adalah pemenuhan kewajiban administrasi yang harus dipenuhi oleh wajib pajak.

Bila hanya menempatkan sebuah komputer, sulit menentukan siapa nanti yang akan bertanggung jawab atas seluruh kewajiban pajak perusahaan dan dari segi material, bagaimana menentukan penghitungan laba BUT tersebut, karena sangat sulit membagi berdasarkan jenis penghasilan dan menghitung laba usaha dengan tidak adanya pembukuan. 

Selain itu, SPT yang ada selama ini belum mencakup hal-hal yang berkaitan dengan transaksi e-commerce seperti gambaran tentang situs yang digunakan untuk menerima order, produk apa yang dijual, jasa apa yang diberikan dan tata cara pembayarannya, nama dari perusahaan tempat situs ditempatkan, nama perusahaan yang menjadi mediator pembayaran, dan jumlah penghasilan bersih dari transaksi e-commerce yang tidak diberlakukan sebagai objek pajak. 

Dengan demikian, pihak otoritas pajak pun akan memiliki kesulitan untuk mengakses dan memeriksa secara detail mengenai transaksi-transaksi yang dilakukan melalui e-commerce ini.

Permasalahan lain yang juga didiskusikan adalah karakteristik penghasilan yang diperoleh dari transaksi-transaksi e-commerce. Umumnya, pembayaran lintas negara untuk penggunaan musik atau gambar-gambar dari internet, harus dikategorikan sebagai royalti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline