Lihat ke Halaman Asli

Veronica Maureen

Communication Science Student

Cerpen | Jalanan Masih Gelap

Diperbarui: 21 Agustus 2019   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam harinya aku tertidur dengan perasaan gelisah. Mengkhawatirkan akan hari esok dengan tanggung jawab baru. Kusiapkan tas ransel yang biasa kupakai. Aku mulai menata barang bawaan untuk esok hari, apa-apa saja yang harus kubawa? Aku memasukkan buku catatan yang hampir habis, sebuah bolpoin dan pakaian ganti. Perasaanku malam itu sungguh bersemangat, ya wajar saja pengalaman pertama. Aku berusaha terlelap, melipat tangan, menutup mata memanjatkan doa. Aku terlelap.

Aku terbangun keesokan harinya dengan mata masih mengantuk. Juga perasaan lega karena aku mendengar jam weker yang aku pasang tadi malam. Untung saja, bantinku. Aku duduk di ujung tempat tidur, sembari mengumpulkan kesadaran dan melipat tangan, mengucap syukur. Kulangkahkan kakiku membuka pintur kamar. Kurasakan udara pagi yang dingin menyeruak masuk begitu segar. Dingin rasanya pagi itu, langit masih gelap.

Aku bersiap, memilih pakaian yang akan kukenakan. Memastikan sekali lagi barang-barang yang akan kubawa. Jangan sampai ada yang tertinggal, kataku pada diriku sendiri. Kurasa semua sudah siap, aku memesan transportasi online. Kukira aku akan segera memulai perjalananku pagi itu. Cukup lama juga aku menantikan kedatangannya. "Saya mohon jangan dibatalkan ya pak, saya akan menunggu," ujarku memohon kepada pak sopir pagi itu. Perjalanan pagi ini jauh dan kurasa jalanan masih akan sepi, kuharap aku tiba tepat waktu.

Sembari menanyakan tujuan, si sopir memberikan helm untuk aku kenakan. Aku juga sudah siap dengan jaket tebalku, untuk melindungiku dari udara pagi yang masih dingin. Aku duduk diboncengan si sopir dan deru mesin motor terdengar, aku pun memulai perjalananku di pagi itu. Malam sebelumnya, kulihat diaplikasi penunjuk jalan bahwa perjalanan akan memakan waktu 40 menit, sejauh 21 kilometer. Perjalanan yang cukup jauh memang, dan daerah tersebut jarang kudatangi. Baru sekali saja kau pernah ke lokasi yang dituju itu, kupercayakan perjalanan pada si sopir. Dipasangnyalah aplikasi penunjuk jalan oleh si sopir, menemani perjalanan kami pagi itu. Menatap langit, harapanku adalah dapat sampai di lokasi dengan selamat. Itu cukup.

Langit masih gelap dan deretan lampu jalan masih menyala. Kurasakan hembusan angin menerpa wajahku, kapan terakhir kali aku melakukan perjalanan se pagi ini? Jalanan masih sepi pengendara, jadi udara segarlah yang kuhirup, bukan asap-asap kendaraan yang berhenti di lampu lalu lintas. Tidak kudengar juga suara-suara klakson dan makian-makian seperti siang hari, ketika matahari mulai menunjukkan terangnya. Sepanjang perjalanan, kudengar suara masjid dikejauhan juga kicauan burung di pohon-pohon yang rindang. Dan langit masih gelap.

Kehidupan masih samar-samar pagi itu. Toko-toko masih tertutup, kecuali deretan mini market 24 jam yang juga sepi pengunjung. Apakah pegawai-pegawai itu menjaga kasir sambil tertidur? atau mereka menanti datangnya pelanggan sambil menahan rasa bosan? Lalu ketika mereka dikalahkan oleh rasa bosan dan kantuk, pimpinan mereka pun datang dan menegur mereka dengan kata-kata kasar. Sungguh tidak menyenangkan pikirku, harus menunggu apa yang tidak pasti dan kau tak boleh kalah dengan keadaan karena begitulah seharusnya.

Ah, bisa juga mereka bersenda gurau satu sama lain atau menonton televisi yang kadang terpasang di bagian dalamnya. Membagikan kisah percintaan satu sama lain dan bertukar pikiran  mengenai berita-berita di televisi. Dan ketika mereka mulai lelah, mereka kembali dalam diam. Tidak menutup kemungkinan juga mereka sedang melakukan pekerjaan mereka yang lainnya. Menghitung uang, menata barang-barang dan membersihkan landai dengan semangat baru pagi itu. Siapa tau? Aku terlarut dalam skenario pertamaku pagi itu, mengenai pegawai di mini market yang kulihat sepi pengunjungnya.

Perjalanan masih berlanjut, dan aku tahu ini tidak akan memakan waktu yang sebentar. Aku mulai bosan dan rasa kantuk kembali menyerangku bersama dengan udara pagi yang menampar kulit wajahku. Mencoba menghilangkan rasa kantuk, masih kupandangi dengan saksama suasana jalanan pagi itu, dengan penglihatan seadanya karena jalanan masih gelap.

Terdengar suara lidi menyentuh tanah, membersihkan jalanan dari dedaunan yang jatuh dan sampah yang dibuang sembarangan. Tukang sapu jalan beradu dalam gelap menyelesaikan pekerjaan mereka demi sesuap nasi. Mereka mengenakan seragam oranye bertuliskan DINAS KEBERSIHAN KOTA SURABAYA, sedang ada juga yang lainnya mengenakan kaus-kaus berlengan pendek. Seolah mereka tidak menghiraukan hawa dingin di pagi hari yang masih gelap itu. Mereka bangun lebih pagi, dan tidur larut malam. Mengajari anak-anak mereka pelajaran dan sopan santun, berharap anaknya tidak bernasib sama.

Mereka memakan sarapan seadanya, bahkan mungkin hanya segelas air putih untuk membasahi kerongkongan mereka. Rasa kantuk menjadi teman setiap harinya dengan peluh yang membasahi dahi mereka. Yah, demi sesuap nasi hari itu. Yang penting hari ini makan, urusan besok itu lain lagi. Mereka selalu mencukupkan diri dan tak lupa untuk memanjatkan syukur.

Masih aku memandangi jalanan dan tak lama, lewat sebuah motor bak yang mendahului aku dan si sopir. Kulihat seorang ibu bersandar pada karung-karung berisi sayuran dan tertidur di bak motor bagian belakang. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan, tak menghiraukan goncangan sepanjang perjalanan. Ia tertidur begitu pulasnya. Baju kebesaran yang ia gunakan sudah cukup mengatasi dinginnya pagi itu, ia tak meminta lebih selain sejenak waktu untuk menutup mata. Apa yang ibu itu mimpikan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline