Lihat ke Halaman Asli

Sekadar Saja Tidaklah Cukup

Diperbarui: 20 Maret 2017   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengumuman kelulusan sudah di depan mata. Esok, akuakan menerima hasil dari apa yang sudah aku perjuangkan sejak tiga tahun lalu.Malam sudah semakin larut, dan aku masih terjaga memandangi gemerlap kejora dibibir jendela kamarku. Mencoba memanggil ingatan lamaku tentang segala yangpernah terjadi selama enam semester di masa putih biru. Tidak ada satu punkejadian yang membuatku terkesan. Kelas dan penduduknya yang bahkan tidakberubah dari kelas 7 hingga kelas 9 membuat hidupku begitu abu-abu. Menghadapihal yang konstan selama itu, tentu membosankan. Secepatnya aku akanmenenggelamkan ingatan itu, dan menggantinya dengan ingatan yang baru.

Tapi, yang aku khawatirkan saat ini adalah apakah akubisa memiliki teman dekat di masa putih abu-abuku? Apakah aku bisa membuka diriuntuk bergabung dengan teman-teman yang lain? Apakah, apakah, apakah... Semuaitu terus berputar di kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang muncul hingga akumerasa cukup untuk berpikir tentang hal yang bahkan belum terjadi. Akumemutuskan untuk merebahkan badanku di kasur dan tenggelam dalam mimpi begitusaja.

***

“Zee… Zee… Bangun kak, sudah jam setengah lima. Ayosalat subuh!”

Terdengar suara yang tak asing lagi dari ruangsebelah. Iya, itu suara bapak. Bapak sudah bagaikan alarm pengingat segalaaktivitas keluarga, terutama salat. Aku selalu diajarkan untuk melakukan segalasesuatu tepat waktu. Jadi, segala sesuatu yang keluarga kami lakukan sudahterusun sedemikian rupa agar berjalan lancar.

Terlebih lagi, semenjak aku SMA, keluarga kami sudahtidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Alasan klasik yang bapak lontarkanadalah karena aku perempuan yang mulai beranjak dewasa, aku harus belajar untukpeduli dan bertanggung jawab atas semua barang-barang dan keperluanku. Padahal,aku adalah salah satu siswa di SMA favorit kotaku. Tentu saja, tugas sekolahyang aku miliki itu seperti hujan yang tak kunjung reda. Namun, bapak tetapsaja tidak menerima keluh kesahku; tentang aku yang harus menyelesaikan tugas-tugaskusaat akhir pekan hingga aku merasa lelah dan kerepotan membereskan kamarku,mencuci pakaianku, melakukan banyak hal seperti menyapu dan mengepel seisirumah.

Beda cerita dengan bapak, ibu adalah orang yang selaluberada di pihakku ketika bapak menanggap aku salah. Walau memang tidak begituberpengaruh karena bapak pasti tidak gentar memberikan wejangan-wejangansupernya saat aku salah. Tetapi setidaknya, ibu selalu mempersilakanku untukbersandar di bahunya, mendengar segala keluh kesahku, menghapus tangisku,menenangkanku ketika aku terisak kapanpun aku mau. Ibu jugalah orang yangbersedia untuk menjadi jembatan komunikasiku dan bapak ketika aku sudahmenyerah menegosiasikan segala sesuatu dengan bapak.

**

Halte yang kutuju sudah terlihat. Aku bersiap untukmenuruni bus yang sudah kutumpangi dari depan komplek perumahanku. Tiba-tiba,ada seorang pemuda yang mengenakan seragam putih abu-abu dilapisi jaket birudengan resleting setengah terbuka menepuk pundakku. Sontak aku mengedarkanpandangan sinis kepadanya.

“Zizan Laudza Wibowo ya?” Tanyanya dengan suara yang nge-bass dantampang sok gentle.

“Iya... Kamu siapa ya?” Aku balik bertanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline