Di tengah melesatnya perkembangan teknologi, kemudahan informasi, dan kemakmuran relatif, manusia modern justru mengalami krisis yang tak terlihat, kecemasan eksistensial yang mendalam. Kita hidup di zaman yang paling aman secara fisik dalam sejarah umat manusia: kelaparan bukan ancaman bagi sebagian besar, penyakit mematikan bisa dicegah, dan perang besar jarang menyentuh kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kenyamanan ini, muncul pertanyaan paling mendasar: Untuk apa kita hidup?
Selama ribuan tahun sejarah umat manusia, kita telah berhasil mengatasi ancaman fisik terhadap survival, tetapi justru terjebak dalam pertarungan baru, yaitu bertahan dari rasa tidak cukup, ketidakrelevan, dan kehampaan.
Dari Survival Fisik ke Survival Eksistensial
Dalam ribuan tahun sejarah manusia, kita berjuang untuk bertahan dari alam: binatang buas, kelaparan, bencana alam, dan penyakit. Survival adalah soal makan, minum, dan melindungi diri. Pengetahuan berkembang karena kebutuhan mendesak: bagaimana membuat api, menanam padi, atau menyembuhkan luka. Tidak ada ruang untuk spekulasi filosofis, yang ada hanyalah insting untuk hidup.
Namun, seiring kemajuan peradaban, ancaman itu berubah. Di zaman modern, survival tidak lagi berarti "jangan sampai mati kelaparan", tetapi "jangan sampai dianggap tidak penting". Kita tidak takut dimakan harimau, tapi takut di PHK oleh AI. Kita tidak khawatir tidak punya makanan, tapi khawatir tidak punya likes di media sosial. Kita tidak berjuang melawan alam, tapi melawan sistem --- sistem yang menghukum siapa pun yang tidak produktif, tidak kompetitif, tidak "sukses".
Survival telah bergeser dari fisik ke eksistensial.
Kompetisi sebagai Bentuk Baru Survival
Dalam masyarakat yang stabil, ancaman terbesar bukan lagi kematian, melainkan ketidakrelevan. Di sinilah kompetisi menjadi bentuk baru survival. Bukan karena kita harus menang untuk makan, tetapi karena kita harus menang agar masih dianggap ada.
Pendidikan, yang dulu bertujuan agar seseorang bisa membaca dan tidak ditipu, kini menjadi alat untuk bersaing: sekolah terbaik, IPK tertinggi, gelar internasional. Bukan karena kebutuhan, tapi karena FOMO (Fear of Missing Out), takut ketinggalan, takut tidak diterima, takut hidupnya "gagal".
Begitu pula dengan kemajuan teknologi. Mengapa AI berkembang begitu pesat? Bukan karena manusia butuh penyelamat dari wabah, tapi karena perusahaan dan negara takut ketinggalan. AS takut China unggul, perusahaan takut disalip pesaing, individu takut digantikan mesin. Di balik inovasi canggih, ada satu dorongan yang sama: jangan sampai mati secara sosial dan ekonomi.
Kompetisi bukan lagi pilihan, ia menjadi satu-satunya jalan untuk tetap "hidup" dalam sistem.