Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Perjalanan Wajah Kota Malang Tempo Dulu

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Kota sebagai “Urban Artifact” dalam perjalanan sejarahnya telah dan akan terus membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk perubahan sosial budaya masyarakat yang membentuknya.

Perkembangan kota di Indonesia mempunyai kecenderungan menghilangkan ciri identitasnya. Hal ini karena diabaikannya aspek kesejarahan pembentukan kota sehingga kesinambungan sejarah kawasan kota seolah terputus sebagai akibat pengendalian perkembangan yang kurang memperhatikan aspek morfologi kawasan, demikian halnya dengan kota Malang.

Sebagai kota yang berkembang dari cikal bakal kota kolonial Belanda, Malang syarat akan tata lingkungan dan bangunan yang mempunyai nilai historis dan arsitektur yang dapat menjadi bukti pernah populer suatu mahzab tata kota dan arsitektur Kolonial yang dapat diangkat sebagai ciri khas Kota Malang.

Terbentuknya Sebuah Kota Kolonial

Malang pada masa kolonial memiliki tingkat pertumbuhan tidak secepat kota Surabaya. Malang mulai berkembang pesat sejak dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang membebaskan masuknya modal swasta asing ke Hindia Belanda. Akhir abad ke-19, Malang menjadi pusat pengendalian perkebunan yang terbesar di Jawa Timur. Keadaan ini menjadikan orang-orang Belanda dan Eropa berdatangan ke Malang. Penduduk Malang terdiri dari Orang Belanda dan Eropa, Timur Asing (vreemde osterlingen) seperti orang Cina dan Arab, dan Bumiputra. Meskipun jumlah orang Eropa setengah dari jumlah penduduk bumiputra namun sebagai pemegang kekuasaan posisi mereka menjadi penting dalam membentuk wajah kota Malang.

Era desentralisasi di kota Malang dimulai tahun 1914 dengan ditandatangani sebuah surat keputusan oleh Gubernur Jenderal yang menyatakan Distrik Kota Malang berubah status menjadi Gemeente (Kotamadya). Antara tahun 1917-1930 Kota Malang mengalami banyak perubahan. Hal ini ditandai dengan perluasan daerah pemukiman akibat banyaknya pendatang. Selain itu juga perlunya pembangunan sarana dan prasarana baru karena menjadi Gemeente.

Perubah Wajah Kota

Pemerintah Gemeente mengambil kebijakan perluasan kota Malang agar dapat menampung berbagai ruang gerak dan aktivitas penduduk Malang. Rencana perluasan kota Malang merupakan salah satu perencanaan kota yang terbaik di Hindia Belanda pada waktu itu. Tentu saja hal ini tidak luput dari orang-orang yang ada dibalik rencana tersebut. Selain walikota Malang pertama yaitu H.I. Bussemaker (1919-1929), juga tak bisa lepas dari peran ahli tata kota yang terkenal pada waktu itu, Ir. Herman Thomas Karsten.

Karsten merupakan seorang ahli tata kota yang sangat berpengaruh dalam perkembangan arsitektur dan tata kota Malang di masa kolonial Hindia Belanda. Karsten merencana perluasan kota kedalam cetak biru (bouwplan) dengan merinci setiap bagian kota menjadi delapan kawasan baru. Kawasan hunian elit hingga menengah berlokasi di Celaket-Rampal, Talun, Oro-Oro Dowo, dan Boulevard Ijen. Kawasan pendidikan dan pemerintahan berlokasi di Klojen Lor hingga Sungai Brantas, Mergosono dan Sukun. Kawasan Industri berada di selatan Kota Malang. Kompleks pemakaman orang Eropa di Sukun dan Penjara Negara berada di Lowokwaru.

Jaringan jalan merupakan prasarana yang mendapat perhatian khusus dalam mengembangkan perluasan kota Malang. Jaringan jalan dibuat sebagai akses penghubung antar tempat yang dibagi menjadi jalan utama dan jalan pembagi. Namun menurut Karsten antara jalan utama dengan jalan pembagi harus memiliki perbedaan menurut fungsi dan jumlah. Jalan utama harus memiliki hubungan yang lancar dan baik antara yang satu dengan yang lain dan terbatas jumlahnya. Sedangkan jalan pembagi dikondisikan menurut perencanaan kota dan hubungan menuju jalan utama.

Sebelum kedatangan Karsten, yang merancang bangunan di kota Malang biasanya adalah Opziter plus (pengawas bangunan). Hampir tidak ada sama sekali ahli tata kota dan arsitek yang merancang bangunan pada masa itu. Baru setelah Karsten datang perancangan bangunan berubah lebih bernuansa modern. Karsten melakukan banyak perubahan arsitektur pada bangunan-bangunan yang dirancangnya. Kentalnya nuansa arsitektur Eropa menyebabkan kota Malang dikenal dengan citra sebagai kota Eropa dan mendapat sebutan Paris Van Oost Java. Namun saat ini sulit sekali untuk membandingkan keadaan kota Malang pada tahun 1920 an dengan keadaan sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline