Lihat ke Halaman Asli

Umi Sakdiyah Sodwijo

Pengelana kata yang riang gembira

Tersesat di Lereng Sindoro

Diperbarui: 10 Mei 2021   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Sindoro

Saat itu, tahun 1991, aku adalah siswa baru di sebuah SMA Negeri favorit kota dingin di kaki Sindoro - Sumbing. Saat itu, kelompok siswa pencinta alam (PALA) sekolah kami akan mengadakan pendadaran anggota baru. Inisiasi anggota baru akan dilakukan di puncak gunung Sindoro. Menggunakan truk sampah, sore itu kami semua diangkut menuju desa Sigedang, posko pertama pendakian ke gunung Sindoro.

Selepas makan malam dan sholat Isya, rombongan kami memulai perjalanan pendakian perdana. Kami berjalan dengan penuh semangat hingga melupakan ransel berat berisi perbekalan yang ada di punggung. Semakin malam, cuaca semakin dingin. Saat jalur pendakian semakin menanjak, gerimis turun. Cairan lembut yang berjatuhan dari langit itu terasa seperti ratusan lidi yang melecut muka.

Sebelum sadar kalau terpisah dari rombongan, aku masih melihat Kak Yasip, pelatih Pramuka sekaligus senior di kelompok pecinta alam berjalan mendahuluiku. Jas hujannya yang lebar terlihat berkibar-kibar melewati tubuhku. Aku mempercepat langkah. Ransel di punggung bertambah berat. Jalanan licin mempersulit medan yang menanjak dan terjal. Kutiup jemari yang semakin membiru karena kedinginan.

Pendakian kali ini terasa begitu berat. Hutan lereng Sindoro yang baru terbakar memperlambat langkahku. Aku harus menemukan rombongan. Jangan sampai aku mati membeku karena tersesat.

"Jalan lurus, hati-hati licin!" tiba-tiba terdengar suara laki-laki memandu langkahku. Aku tergeragap lalu menoleh. Terlihat seorang cowok gagah menyandang ransel tersenyum samar di belakangku. Cahaya bulan tak mampu membuat wajahnya terlihat cukup jelas. Mungkin dia salah satu kakak kelas yang belum aku kenal.

"Aku Narendra, dari kelas 3A11," jawabnya mengusir kekagetanku.

Aku pun mengikuti arahannya menyusuri jalanan yang semakin terjal dan licin karena hujan. Lereng Sindoro yang gundul akibat kebarakaran hutan belum lama ini membuat suasana semakin mencekam.

Narenda terus memanduku mengikuti jalan setapak hingga sampai ke puncak. Pipi yang membeku dan tangan yang mati rasa karena lupa memakai sarung tangan semakin memperlambat perjalanan kami ke puncak.

"Tampar-tampar pipinya biar hangat. Tangannya juga tepuk-tepuk biar nggak beku!" Aku pun segera melakukan semua instruksinya tanpa menoleh ke belakang. Sedikit mendingan. Jemariku mulai terasa hangat teraliri darah. Huft, lain kali aku nggak boleh gegabah. Nggak boleh sok kuat dan lincah sehingga berjalan terlalu cepat mendahului rombongan dan tersesat. Kalau begini kan repot. Andai aku tersesat dan hilang ditelan kegelapan lereng Sindoro yang dingin, naudzubillah! Aku pun berusaha menepis pikiran-pikiran buruk dan bibirku tak henti komat-kamit berdzikir sebisanya.

Akhirnya kami selamat sampai puncak tanpa ada yang menyadari kalau aku terpisah dari rombongan. Aku pun segera bergabung dengan teman sekelas, Irum dan Siti yang sudah duduk menghangatkan badan di depan api unggun. Setelah menunaikan sholat shubuh di puncak Sindoro yang seperti lapangan sepak bola, kami pun berfoto bersama berlatar matahari terbit dan genangan kabut yang merontokkan belulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline