Saya ingin membagikan pengalaman saya saat melakukan pendakian gunung Kawi melewati jalur via Pujon kidul. pendakian ini bukan hanya mencari keindahan alam semata seperti kebanyakan orang, akan tetapi saya melakukan pendakian saat itu untuk mengamati fenomena sosial yang terjadi di kawasan tersebut.
Dokumentasi saat berdiskusi
Saya berkesempatan melakukan diskusi dan berbincang dengan beberapa warga setempat tentang persoalan perizinan dan pengolahan Gunung kawi. dari perbincangan itu, saya menemukan fakta yang cukup mengejutkan bahwa warga lokal ternyata telah lama berkonflik dengan Perhutani terkait masalah pengelolaan Gunung Kawi. Menurut penuturan mereka, konflik tersebut sudah lama terjadi disebabkan oleh perebutan kawasan yang memiliki potensi untuk menjadi tempat pariwisata. Warga setempat merasa dipersulit ketika ingin mengelolanya,entah itu perizinan untuk membuka jalur pendakian atau terkait membuat tiket pendakian yang tak pernah disetujui oleh pihak perhutani seolah - olah tidak ada tanggapan dari mereka. Di sisi lain, Perhutani sebagai institusi resmi menegaskan bahwa kawasan itu berada dalam kuasa mereka. Pertanyaan pun muncul: siapa yang sebenarnya berhak mengelolanya, antara masyarakat lokal yang telah lama hidup di sekitar gunung Kawi atau Perhutani sebagai lembaga negara?menurut Saya ini adalah contoh nyata Double - Consciousness (Kesadaran Ganda) karena warga hidup dengan dua identitas: sebagai pewaris tradisi lokal, tetapi dipandang juga sebagai orang asing (tidak berizin)
Saya dapat mengetahui teori Double - Consciousness (Kesadaran Ganda) dari W.E.B. Du Bois melalui karya beliau The Souls Of Black Folk (1903) yang dibahas juga di dalam Ritzer & goodman(2012 : 349). menurut Du Bois,suatu pandangan di kalangan orang Amerika keturunan Afrika melihat dan mengukur dirinya sendiri ,melalui mata orang lain(kulit putih).Akibatnya, identitas mereka terbelah. saya sepakat dengan pendapat W.E.B. Du Bois buktinya adalah di kawasan Gunung Kawi : warga setempat memiliki hak untuk mewarisi tradisi, tapi disisi lain mereka juga dipandang oleh Perhutani melanggar aturan.(Tak berizin) ternyata teori Du Bois masih relevan untuk memahami konflik di Indonesia Meskipun konflik ini tak naik ke permukaan tapi setidaknya yang dapat saya pelajari adalah bahwa konflik bukan hanya soal aturan dan izin melainkan juga soal identitas : Bagaimana masyarakat lokal memandang dirinya, sekaligus bagaimana mereka dipandang oleh yang memiliki kekuasaan.
Teori kesadaran ganda diperkenalkan oleh W.E.B. Du Bois. Ia lahir pada tahun 1868 di Great Barrington, Massachusetts, Amerika Serikat. Dalam perjalanan intelektualnya, Du Bois menempuh pendidikan di Harvard University, lalu melanjutkan studi ke Eropa, termasuk di University of Berlin.
Guru dan pemikir yang memengaruhi dirinya antara lain William James, seorang filsuf pragmatis Amerika, serta tradisi intelektual Eropa seperti Karl Marx dan Max Weber yang memberinya kerangka analisis kritis mengenai masyarakat.
Latar belakang sosial-politik Amerika pada masa itu, khususnya diskriminasi rasial terhadap warga kulit hitam, sangat memengaruhi pemikirannya. Du Bois juga aktif terlibat dalam perjuangan hak-hak sipil, salah satunya dengan mendirikan NAACP (asosiasi nasional untuk kemajuan rakyat kulit berwarna ). Pemikiran sosiologisnya banyak diarahkan untuk mengkritik rasisme serta memperjuangkan kesetaraan bagi masyarakat Afrika-Amerika.
Referensi
• George Ritzer. (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Edisi kedelapan). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI