Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Nomad Digital

Bagaimanakah Radio Tumbuh di Kenangan Abege 90-an?

Diperbarui: 8 Desember 2022   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Denny Kusuma bersama koleksi radio tuanya.(Dok DENNY KUSUMA via lifestyle.kompas.com)

Di tahun 90-an, kita sebenarnya tidak kekurangan teknologi agar saling terhubung tanpa mesti bertatap muka.

Kita masih punya telegram, kemudian surat menyurat. Di kota-kota kecil yang lengang, seperti Jayapura, kita masih memiliki box telepon koin. Lalu ada sisa-sisa telepon rumah dengan engkol di sampingnya. Kemudian muncul warung telekomunikasi (wartel) dengan buku alamat nomor telepon berwarna kuning di sampingnya. Serta siaran radio. 

Dari kesemua fasilitas itu, abege di zaman itu mungkin hanya tidak menggunakan telegram. Rasanya terlalu tua, kuno dan pasnya buat bapak-bapak kita saja.

Karena itu, setidaknya kita pernah punya sahabat pena yang setiap minggu saling berkirim surat. Atau mengoleksi romansa yang panjang di depan box telepon umum koin. Menyalurkan kegalauan-kegalauan di dalam kamar telepon, yang berada di halaman kantor Telkom. 

Seperti halnya radio. Kita juga memiliki ingatan yang khusus kepadanya.

Radio membantu kita terhubung pada dunia yang berkembang di luar sana. Seperti dinamika musik terkini. Berita nasional, lokal maupun regional. Bahkan melalui fasilitas radiogram, keluarga-keluarga di kampung saling memberi kabar. Radio juga menyampaikan kabar duka sehingga kita mengetahui siapa, hari apa dan dimana kesedihan sedang terjadi di kota sendiri. 

Tapi, rasanya, salah satu fungsi penting radio adalah merawat kebersamaan sirkel-sirkel pertemanan rombongan abege

Saat itu ada yang disebut PILPEN alias Pilihan Pendengar. Pilpen biasanya digunakan anak-anak abege 90-an saling mengirim salam dan lagu yang dibacakan penyiar. Lantas kiriman itu dibalas lagi oleh temannya yang lain. Kemudian dibalas lagi temannya yang lain. Seperti arisan salam saja.  

Pilpen biasanya  dipilih pada jam-jam sesudah makan malam. Para pengirimnya hanya perlu membayar 500 rupiah untuk satu pesanan. 

Saling mengirim salam dan lagu galibnya dilakukan dalam satu sirkel atau setidaknya masih dalam lingkungan satu sekolah. Lantas besok hari di sekolah mereka akan membahasnya bersama-sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline