Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Nomad Digital

Jerman Disikat Jepang, Mengapa Itu Dimungkinkan?

Diperbarui: 24 November 2022   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para Pemain Jerman saat pertandingan melawan Jepang | (Foto: AFP/INA FASSBENDER via Tribun Jogja) 

Sebagai penyaksi Piala Dunia sejak 90an, adalah menyenangkan melihat Jerman yang berubah pesat sesudah era Lothar Matthaus, Rudi Voller, Jurgen Klinsmann, atau Andreas Brehme.  Jerman edisi 90-an dengan pelatih seperti Berti Vogts yang membuat mereka juara di Italia 90.

Walau juara, Jerman kala itu adalah sistem yang membosankan, sekalipun stabil dan kokoh. Dengan poros bernama Lothar Matthaus dimana bola selalu mengalir darinya. Ketika mencapai lapangan tengah, bola kembali lagi ke belakang atau dikirim ke depan dalam bentuk long pass

Sesungguhnya tidak banyak kreativitas dalam aliran pola seperti itu. Sebaliknya, penonton justru disuruh melihat sistem yang kaku bekerja. Sebab itu, mengapa sepakbola sedemikian menjadi membosankan. 

Lalu, rasa-rasanya, semua berubah ketika alumnus 90 melanjutkan karir sebagai pelatih. Dimulai dari Voller, kemudian digantikan Klinsmann--duet penyerang. Sesudahnya dilanjutkan rezim Joachim Loew yang lumayan lama. 

Sejak saat itu, Jerman bertransformasi menjadi tim yang lebih menyerang dan tetap menjaga marwah sebagai spesialis turnamen. 

Dunia juga mahfum, Jerman hari ini melahirkan generasi pelatih menyerang seperti Klopp dan Tuchel. Sekadar menyebut dua yang sudah mengangkat trofi "Si Kuping Besar".

Tentu saja, ada banyak hal yang terlibat dalam transformasi ini. Bukan semata-mata dampak dari pertumbuhan generasi pelatih dan pergeseran mazhab. Selalu ada "konteks sistemik" yang bekerja di balik itu semua. 

Dari konteks yang singkat ini, melihat bagaimana Jerman bermain tadi malam adalah sejenis pertunjukan. Operan pendek, pergerakan cair pemain, dan kerjasama satu-dua. Semua begitu apik dimainkan. Inilah Jerman yang dominan, mobile dan menyerang. 

Satu lagi yang mesti digarisbawahi adalah dengan gaya yang atraktif, Hansi Flick masih setia-sampai-nanti dengan satu identitas kunci yang bertahan melampaui pasang surung turnamen. Identitas itu adalah poros bernama playmaker

Sesudah era Franz Beckenbauer dan Lotthar Mattthaus, peran ini dimainkan dengan baik oleh Bastian Schweinsteiger dan Toni Kross. Hansi Flick sekarang mendayagunakan Joshua Kimmich yang berbagi peran dengan Ilkay Gundogan.

Dan lihatlah sepanjang babak pertama, betapa dua poros playmaker itu mendistribusikan bola dengan begitu indahnya. Melewati celah sempit di antara covering pemain-pemain Jepang. Pergerakan antar lini juga membuat distribusi itu terlihat sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline