Setiap sore di bulan Ramadan, pemandangan yang hampir selalu terlihat adalah kerumunan orang menunggu pembagian takjil gratis di pinggir jalan atau alun-alun.
Mereka yang berduit dengan niat berbagi membagikan makanan kepada siapa saja yang lewat. Sementara itu, di sisi penerima, ada yang benar-benar membutuhkan, ada juga yang mungkin sekadar ingin mendapat sesuatu tanpa perlu mengeluarkan uang.
Fenomena ini kemudian dikenal dengan sebutan "war takjil." Tapi, apakah ini benar-benar cerminan dari semangat berbagi yang sesungguhnya?
Secara prinsip, berbagi takjil adalah perbuatan mulia. Islam sangat menganjurkan sedekah, apalagi di bulan Ramadan, di mana pahala kebaikan dilipatgandakan. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun. (HR. Tirmidzi). Namun, pertanyaannya, apakah cara berbagi yang dilakukan saat ini sudah sesuai dengan esensi dari sedekah?
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa takjil gratis sering kali lebih menjadi ajang berebut daripada ladang berbagi. Orang-orang berdesakan, berusaha mendapatkan bagian, terkadang bahkan tanpa melihat apakah mereka benar-benar membutuhkan atau hanya sekadar ingin menikmati momen mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Tidak sedikit pula yang seharusnya bisa membeli makanan sendiri, tetapi tetap ikut antre, bahkan mengambil lebih dari yang seharusnya. Dalam situasi seperti ini, ke mana sebenarnya nilai kepedulian itu?
Sebagai manusia, seharusnya kita bertanya kepada diri sendiri: apakah kita lebih memilih menjadi tangan yang menerima atau tangan yang memberi? Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jika kita masih mampu membeli makanan berbuka, mengapa tidak kita serahkan takjil gratis itu kepada mereka yang lebih membutuhkan? Bahkan lebih baik lagi, mengapa tidak kita yang mulai berbagi?
Selain itu, cara pembagian takjil juga perlu dikaji ulang. Daripada membagikannya di jalanan yang rawan kerumunan dan berebut, mungkin lebih baik jika takjil disalurkan langsung kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti pekerja harian, pemulung, atau anak-anak di panti asuhan. Dengan begitu, niat baik ini tidak sekadar menjadi rutinitas tahunan, tetapi benar-benar memberikan manfaat.
Bagi mereka yang rutin membagikan takjil, ada baiknya memikirkan kembali metode pembagiannya. Mungkin bisa dengan cara memberikan kupon sebelumnya, sehingga orang-orang yang benar-benar membutuhkan bisa mendapatkannya dengan lebih tertib. Atau, bisa juga dengan mendistribusikannya melalui masjid, panti asuhan, atau komunitas sosial yang lebih tahu siapa saja yang benar-benar membutuhkan. Dengan cara ini, niat berbagi tetap berjalan, tetapi dengan dampak yang lebih signifikan.
Banyak orang berpikir bahwa berbagi harus dalam jumlah besar, padahal hal kecil pun bisa memberi manfaat besar. Jika kita tidak bisa membagikan takjil dalam jumlah banyak, kita bisa mulai dari lingkungan terdekat. Berbagi dengan tetangga, membantu teman yang kesulitan, atau bahkan sekadar mengajak seseorang berbuka bersama bisa menjadi bentuk kebaikan yang bermakna. Ramadan bukan hanya soal mendapatkan pahala dari berpuasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menumbuhkan kepedulian sosial yang sesungguhnya.
Fenomena war takjil juga seharusnya membuka mata kita bahwa masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan. Jika dalam satu sore saja, ratusan orang bisa berkumpul untuk mendapatkan takjil gratis, bukankah ini menjadi tanda bahwa kesejahteraan masyarakat masih belum merata? Ramadan seharusnya bukan hanya tentang ritual berbagi sesaat, tetapi juga menjadi momentum untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana kita bisa membantu sesama dalam jangka panjang. Mungkin setelah Ramadan, kita bisa mulai lebih aktif dalam kegiatan sosial, tidak hanya saat suasana ibadah sedang meningkat.