Lihat ke Halaman Asli

tukiman tarunasayoga

Pengamat Kemasyarakatan

Omnibus Law dan "Nggalap Menang"

Diperbarui: 8 Oktober 2020   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua kata mirip-mirip padahal maknanya berbeda, yaitu kata "galap" yang artinya keliru, dan "ngalap" (asal kata "alap") yang berarti "njupuk" (mengambil)  ataupun "ngepek" (bacalah seperti Anda mengucapkan kernet) yang artinya mendaku. Dari kata "ngalap" terbentuklah misalnya ungkapan "ngalap berkah" yaitu ikut-ikutan melakukan sesuatu dengan harapan memperoleh berkah; sedangkan dari kata "galap" terbentuklah idiom seperti judul di atas "nggalap menang."

Berbagai cara dapat dilakukan orang dalam rangka ngalap berkah, bahkan ikut-ikutan demo menolak Omnibus Law (OL) pun banyak pihak melihatnya sebagai "ritual" ngalap berkah itu. 

Betapa tidak? Kebanyakan orang (boleh dipastikan?) tidak tahu apa itu OL karena membacanya pun mungkin tidak dilakukan, namun ikut saja arus dan mungkin juga ikut-ikutan berteriak, siapa tahu di sana nanti sudah ada yang memikirkan logistiknya, dan lain-lain. Nah, contoh ini menunjukkan makna ngalap berkah dalam arti dapat rejeki karena ikut-ikutan melakukan sesuatu.

Beda ngalap berkah, berbedalah "nggalap menang," dan dalam konteks OL, idiom ini menjadi sangat tepat karena makna nggalap menang ialah "golek menange dhewe(-dhewe)" karena masing-masing pihak saat ini memang sedang menjustifikasi dirinyalah yang paling benar. 

Dalam arus justifikasi diri seperti itu, setiap pihak pasti melihat pihak lain, apalagi yang dianggap lawannya, pastilah pihak yang salah. Namanya saja golek menange dhewe; yahhhhh pastilah apa yang sudah diputuskan lewat mekanisme berkonstitusi oleh lembaga seterhormat dewan perwakilan rakyat pun, tetap dianggap salah oleh penentangnya, dan pihak penentang itulah yang merasa benar...nar....nar....nar.  Begitulah yang sedang terjadi hari-hari ini.

Pertanyaannya, mengapa nggalap menang sangat sering dipakai sebagai "senjata menyerang" mutakhir oleh pihak-pihak tertentu kepada pihak-pihak tertentu pula? Pertanyaan ini sudah menggambarkan adanya seolah-olah dua kepentingan yang (sengaja?) dipertentangkan, padahal kalau mau duduk bersama untuk membicarakannya, kepentingan yang hanya satu itu pasti tidak mungkin dipertentangkan. 

Apa kepentingannya? Dalam konteks OL, satu kepentingan itu ialah terciptanya kesejahteraan hidup bersama yang oleh Pemerintah (dan utamanya DPR) dihitung dan ditimbang secara cermat "hanyalah" mungkin dapat segera tercipta jika ada payung hukum berupa UU yang mengaturnya. Akan tetapi, hitung-hitungan itu dianggap "salah" oleh mereka yang menentang undang-undang OL dengan berbagai dalih dan hitung-hitungan mereka. Jadilah nggalap menang.

Siapa benar dan (sebenarnya) siapa salah dalam hal ini? Lagi-lagi, bila ditinjau dari "beradu kepentingannya" sehingga di satu sisi OL sudah diketuk sebagai undang-undang, namun di sisi lain penolakan atas keputusan itu sedang berlanjut; kita harusnya melihat secara jernih dan berkata: Tidak ada pihak yang salah dalam hal ini. 

Namun, mengapa ada saja yang nggalap menang, sehingga sesuatu yang pada hakekatnya tidak salah, disebut-sebut sebagai salah? Itulah dinamika demokrasi. 

Dalam sebuah dinamika, selalu saja ada pihak yang laju atau larinya lebih cepat dari pihak lainnya; namun atas nama demokrasi, pihak yang larinya tidak cepat (untuk tidak mengatakan lambat) sangat mungkin melontarkan protes atau keberatan; dan akumulasi dari itu semua terkumpullah dalam semangat nggalap menang tadi. Dengan kata lain, nggalap menang sangat boleh jadi dipilih sebagai strategi justru setelah sesuatu diputuskan dan bukannya dulu-dulu sebelum diputuskan. "Kalau di ujung depan sana gak seru dong, justru harus di ujung akhir ini," barangkali begitu logika yang dibangun.

Sekedar ilustrasi untuk menyimpulkannya, dalam kehidupan sehari-hari, sebut saja di tingkat rumahtangga kita masing-masing, iklim nggalap menang (ingat maknanya: golek menange dhewe) tumbuh manakala ada pihak yang merasa (a) diperlakukan tidak adil, (b) diremehkan posisi atau peranannya, dan (c) memang kalah. Luapan perlawanan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa seperti a. b. atau pun c. tadi hanyalah satu, dan itulah bersikap golek menange dhewe. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline