Lihat ke Halaman Asli

Rena

nama asli

Secara Fungsi, Mungkin Saya Ini Bukan Perempuan

Diperbarui: 9 Oktober 2019   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: quiztron.com

Seumur hidup, saya pernah menjadi laki-laki satu kali saja: dalam pertunjukan drama. Bisa dibilang sulit tidak sulit. Sulitnya adalah meyakinkan diri sendiri bahwa saya ini laki-laki (dalam seni peran). Dan lebih sulit lagi dalam kehidupan nyata: bersikap seperti perempuan pada umumnya. Ini implikasinya saya jadi tidak umum. Saya mengakui, menjadi perempuan konvensional itu sulit, karena saya memiliki latar belakang pendidikan kekeluargaan yang berbeda.

Jadilah saya korban stigma “perempuan yang bukan perempuan”. Apakah merugikan saya? Mungkin kalau berpikir untung-rugi, ada saja. Tapi saya sendiri tidak berpikir seperti itu. Jalani saja. Saya yakin saya ini perempuan, sekalipun beberapa orang yang tidak kenal mencap saya secara sewenang-wenang: perempuan liar.

Misal, saya hobi naik gunung, menguasai beberapa ilmu bela diri, lebih doyan pake motor kopling, hobi olah raga, dan senang melakukan hal-hal ekstrem. Begitu pula urusan berbahasa, saya lebih blak-blakan, frontal. Dalam organisasi, lebih memilih bicara berlandaskan tujuan organisasi tanpa memikirkan perasaan personal. Profesionalitas di atas segalanya.

Mengenai kebiasaan, saya bahkan gak nyaman kalau kuku tangan panjang sedikit. Saya sering kali pulang malam dan bawa motor. Pernah hampir di begal, tapi itu begal gak bisa ngejar motor saya. Maklum, saya ini mantan pembalap liar pake motor modifan.

Sampai akhirnya saya mendapat pendidikan gender yang marak disuarakan oleh aktivis perempuan. Akhirnya saya merumuskan rangkaian sebab-akibat. Dan hasilnya memang koheren. Sedari kecil, saya ini dibesarkan ala militer. Kalau pulang sekolah telat tanpa alasan jelas, komandan saya (bapak), siap menggantung saya up side down (kaki di atas, kepala di bawah), di pohon rambutan belakang rumah. Komandan saya juga mengajarkan saya supaya tidak jadi anak manja, minta ini itu. Walhasil, saya memang jarang minta sesuatu sama sekali. Hal yang paling simpel: tambahan uang jajan.

Teman-teman saya menilai saya ini orang yang garang, keras, galak. Tidak sensitif sama sekali. Dan itu menjadi dampak sampai sekarang. Dampak tersebut juga, setelah dipikir-pikir menjadi alasan kenapa saya sering gagal dalam relasi dengan laki-laki (pacaran). Pengalaman saya terkait relasi ini, lebih banyak ngenesnya. Ditinggal pergi, diselingkuhi, yah…tragis lah pokonya. Teman-teman saya bilang laki-laki gak bisa terima kalau pacarnya lebih ‘laki’ dari mereka.

Nah, mungkin ini ruginya jadi perempuan yang tidak seperti perempuan pada umumnya. Terkucilkan, semata-mata oleh norma yang berlaku, dan menempel pada perempuan. Konstruksi gender namanya. Bahwa perempuan itu tidak boleh lebih dominan dari laki-laki.

Kalau ditarik ke hal yang lebih serius, bicara soal politik, misalnya. Perempuan tidak bisa mendominasi politik suatu negara, sekalipun Ibu Megawati pernah jadi presiden perempuan pertama dan satu-satunya di Indonesia. Banyak yang bilang, beliau jadi presiden karena ayahnya Presiden Pertama NKRI. Ini faktor kultural, bukan semata-mata karena beliau kredibel. Bener gak sih? Ya, biar masing-masing individu yang menilai.

Karena saya mengalami alienasi di kalangan perempuan, pendidikan gender jadi satu hal yang paling saya minati. Pertanyaan motivasinya satu: memang kenapa kalau saya ini 'lebih laki'?

Pernah di satu seminar, sang narasumber menjelaskan soal substansi dan fungsi perempuan, yang bikin otak saya terangsang bukan kepalang. Selama ini diskusi-diskusi soal kesetaraan gender hanya berada di ranah substansi. Teori-teori kesetaraan gender itu loh, yang pergerakannya (kalo gak salah) ada sembilan tahapan. Dari feminisme liberal, radical, marxist, eco feminism, sampai feminisme eksistensial (banyak yang gak kesebut). Masing-masing term yang saya sebutkan barusan punya landasan yang beda-beda, sesuai intrik dan pergerakan zaman.

Mau pilih yang mana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline