Lihat ke Halaman Asli

TRI HANDITO

Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya

Diperbarui: 16 Agustus 2020   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istimewa

Selama pandemi Covid-19 di Indonesia, tak pernah terdengar lagi lantunan merdu nan syahdu lagu kebangsaan Indonesia Raya di lapangan-lapangan upacara. Terbayang ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, Sang Saka Merah Putih perlahan dikibarkan di angkasa raya Indonesia. 

Terlihat sederhana atau mungkin biasa saja bagi sebagian orang, tapi ada hal yang begitu luar biasa di balik itu semua. Lagu kebangsaan dan bendera negara merupakan penanda bahwa kita sudah menjadi bangsa yang merdeka. 

Lagu Indonesia Raya dan Sang Saka Merah Putih adalah simbolisasi-filosofis kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajahan bangsa asing. Selain itu, Lagu Indonesia Raya dan Sang Saka Merah Putih menjadi identitas bersama bangsa Indonesia, yang mengikat berbagai keberagaman menjadi satu ikatan keluarga besar : BANGSA INDONESIA.

Sejenak menengok ke belakang, dulu  lagu Indonesia Raya ketika pertama kali diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan pengawasan penuh pemerintahan kolonial Belanda yang kala itu sedang menjajah Indonesia. 

Pada 17 Agustus 1945, lagu Indonesia Raya kembali dikumandangkan pada saat peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di mana saat itu terjadi vacuum of power dari penjajah Jepang. Nah, saat ini, ketika kita memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia, kita berada pada situasi "penjajahan virus Corona" yang mengubah tata kehidupan kita menjadi apa yang banyak orang sebut : kehidupan new normal.

Kali ini bukan penjajah Covid-19 di peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia  yang akan saya ulas. Saya begitu tertarik untuk mencoba merenungi salah satu penggalan syair lagu kebangsaan kita :

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya... Untuk Indonesia Raya....

Terasa ada makna yang begitu dalam pada penggalan syair tersebut. Untuk membuat Indonesia menjadi benar-benar "Raya" (besar dan mendunia), maka prasyarat yang harus dilakukan adalah membangun jiwa dan badan manusia Indonesia. Sebaliknya, Indonesia akan menjadi "sakit" jika jiwa dan badan manusia (bangsa) Indonesia juga "sakit".

Sejarah perjuangan bangsa kita adalah sejarah perjuangan dari Nusantara Raya menjadi Indonesia Raya. Mahapatih Gajah Mada, dengan Sumpah Palapanya, berjuang membangun Nusantara Raya pada masa Kerajaan Majapahit. Ratusan tahun kemudian, Nusantara didera ekspansi bangsa asing. 

Pada masa itulah perjuangan rakyat Nusantara menemukan jati dirinya menjadi perjuangan kebangsaan Indonesia. Perjuangan kebangsaan Indonesia yang dirintis pada masa Kebangkitan Nasional (1908), ditegaskan pada Masa Sumpah Pemuda (1928), dan mencapai puncak perjuangan kemerdekaan pada Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945) adalah perjuangan pembebasan Indonesia menuju Indonesia Raya. Saat ini, sampai dengan masa-masa ke depan, adalah perjuangan mengukuhkan dan membangun Indonesia Raya dalam realitas keberagaman yang begitu tinggi di tengah laju revolusi industri yang begitu pesat.

Pada 75 tahun kemerdekaan negara kita tercinta ini, ada baiknya kita melihat jiwa dan badan bangsa kita, sudahkah melaju untuk menjadikan Indonesia menjadi Raya? Untuk merefleksi hal tersebut, nasihat Jalaludin Rumi bisa memantik kita untuk merenungi diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline