Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Stephen Hawking, Bukan Hanya Ilmuwan tapi Juga Aktivis Terkemuka

Diperbarui: 15 Maret 2018   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hawking bertongkat dan kacamata di sebelah kiri Tariq Ali (kumis). Paling kanan adalah Vanessa Redgrave (ikat kepala). Foto ini dikonfirmasi the National Portrait Gallery bahwa menurut Tariq Ali, pria yang berjalan disampingnya bukan Stephen Hawking.. Sumber: Facebook/teleSUR English

Dunia berkabung atas kematian ilmuwan besar Fisika dan Astronomi, Stephen Hawking, pelopor dalam upaya mengungkap rahasia lubang hitam dan pelanjut pekerjaan Einstein tentang relativitas. Bukunya, A Brief History of Time adalah ulasan popular atas sains yang sangat berpengaruh. Ini adalah salah satu buku yang dahulu turut mempengaruhi masa muda saya untuk tertarik belajar sains di sebuah institut di Bandung, meski kemudian banyak distraksi yang mengalihkan saya dari sana.

Tetapi saya yakin, banyak di antara Om-Tante yang tidak tahu jika Hawking bukan hanya seorang ilmuwan, ia juga seorang aktivis. Saya pun baru tahu ini setelah membuka teleSUR Spanyol, dalam situsnya menerbitkan artikel berjudul "Renowned Physicist, Social Activist Stephen Hawking Dead at 76" dan fanpage Facebook teleSUR English mengunggah foto Hawking dalam unjuk rasa bersama  Tariq Ali dan Vanessa Redgrav.

TeleSUR memberi keterangan foto itu adalah saat unjuk rasa di London 1969 untuk menolak perang Vietnam. Setelah menelusuri lebih dalam, saya yakin itu foto saat Grosvenor Square March 1968.

Era 1960-an memang masa keemasan aktivis di dunia, bertolak belakang dengan di Indonesia yang oleh sebuah buku --saya lupa judulnya-- disebut didominasi oleh para mahasiswa yang hanya sayup-sayup mendengar kemewahan liberalisme-kapitalisme.

Era 1960-an adalah puncak gerakan hak sipil di Amerika Serikat. Saya pernah mengulasnya pekan lalu waktu bercerita tentang setting sejarah lahirnya karakter komik Black Panther, superhero kulit hitam yang filmnya bikin Om-Tante rela mengantre bersama remaja-remaja imut di pintu bioskop. (Baca: Black Panther Itu Perlawanan Kontra Kultur).

Di Eropa terjadi hal yang sama, bahkan lebih berdampak internasional. Pada era inilah revolusi mahasiswa, Paris 1968 meletus. Dari revolusi Paris 1968 kelak lahir tendensi dalam ilmu sosial kritis, neo-marxist dan post modernisme.

Rupanya, Hawking tidak terkecuali ikut terpapar semangat dari global-uprising itu.

Ketika itu Hawking berusia sekitar 26 tahun. Ia bukan lagi mahasiswa. Sudah 2 tahun sebelumnya ia meraih gelar doktor dari Universitas Cambridge dan esai-nya, "Singularities and The Geometry of Space-Time" memenangkan Adam Prize. Usia pernikahannya dengan Jane Wilde baru setahun. Empat tahun sebelumnya ia mendapat vonis dari dokter, hanya akan hidup 2 tahun lagi oleh Motor Deurone Disease.

Ya, Hawking sudah seorang ilmuwan terkemuka dengan penyakit yang kian parah, rela berbaris bersama ribuan pengujuk rasa lainnya, berhadap-hadapan dengan polisi. Ia berbaris bersama Tariq Ali dan Vanessa Redgrave.

Tariq Ali kelak menjadi dedengkot aktivis dan penulis buku, termasuk novel berkualitas. Ia redaktur jurnal terkemuka New Left Review.  Bukunya Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and Modernity (2002) adalah salah satu yang wajib Om-Tante baca. Sementara Venessa Redgrave adalah aktris papan atas yang perannya dalam lusinan film masuk nominasi berbagai penghargaan film internasional, termasuk memenangkan Oscar untuk aktris pendukung terbaik dalam film Julia (1977).

Penolakan Hawking terhadap perang imperialis bukan sekedar euforia. Hal ini terbukti ketika 30 tahun kemudian, ia juga memprotes invasi Amerika Serikat ke Irak, 2003-2011. Ia menyebut itu sebagai kejahatan perang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline