Lihat ke Halaman Asli

Thurneysen Simanjuntak

Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

Membangun Daerah 3T, Tanggung Jawab Siapa?

Diperbarui: 28 April 2019   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar : https://korindonews.com/

Semasa kecil, hingga menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, saya pernah tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Waktu itu, orang sering bilang daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Masih segar dalam diingatanku, bagaimana kehidupan yang kualami selama orangtua bertugas di desa tersebut.

Sebagai seorang pelajar, malam hari adalah tantangan terberat bagi kami. Betapa tidak. Kami setiap harinya berselimut kegelapan. Hanya ada sebuah lampu sumbu di ruang tengah, tempat kami belajar bersama.

Lampu sumbu yang saya maksud adalah yang terbuat dari botol bekas, yang diisi dengan minyak tanah, dan dibagian ujung botol terdapat sebuah sumbu yang siap memberikan cahaya bagi keluarga.

Kabar buruknya, bahwa setiap pagi pasti ada pemandangan yang aneh di hidung kami. Lubang hidung pasti terdapat warna hitam pekat, bekas asap lampu sumbu. Pada waktu itu kami tidak memikirkan lagi apakah itu sehat atau tidak, yang kami pikirkan, bagaimana kami dapat belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah.

Maklum saja, listrik (PLN) baru ada di ibukota kecamatan.

Tetapi kami hanya berharap, redupnya cahaya lampu sumbu bukan sebagai gambaran masa depan kami yang gelap. Sebab kami ingin seperti anak yang lainnya, ingin bisa bersekolah dan meraih cita-cita setinggi mungkin.

Sesungguhnya di desa kami bukan hanya listrik yang menjadi masalah warga. Kesulitan dengan pasar, transportasi dan medis.

Misalnya, untuk membeli barang kebutuhan, bukanlah perkara mudah. Tidak seperti diperkotaan yang selalu sedia pusat perbelanjaan dan supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Kalau warga desa mau berbelanja, tunggu dulu ketemu hari Rabu. Sebab hari itu baru ada pasar di ibukota kecamatan. Tapi jangan langsung mengira bahwa setiap warga desa akan berangkat berbondong-bondong ke pasar. Walau pasar sekali seminggu, belum tentu juga warga dari desa kami berangkat ke pasar. Alasannya keterbatasan biaya dan transportasi.

Bagi sebagian warga, untuk menyiasati hal tersebut, terkadang hanya menitip dibelikan sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka kepada orang yang hendak berangkat ke pasar. Setidaknya biaya perjalanan dapat lebih hemat.

Kalau bicara pelayanan medis, kami hanya bisa menjemput mantri di desa sebelah. Tetapi seandainya ada yang kena penyakit yang terbilang parah, yang tidak mampu lagi ditangani mantri dari desa sebelah, apa yang dilakukan warga?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline