Lihat ke Halaman Asli

Amplop buat Ibu

Diperbarui: 30 Januari 2023   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kumpulan cerpen Amplop buat Ibu (Dokpri)

"Mas, ibu sakit. Sudah dua hari gak mau makan," suara Ratih tercekat. Telepon yang digenggamnya turut bergetar seperti yang mafhum kalau pemiliknya tengah menahan isak.

"Bawa ke dokter. Periksa yang bener. Kan uangnya jelas-jelas ada," datar sekali suara Danang, kakak iparnya.

Seolah-olah yang disampaikan Ratih adalah berita yang tak penting. Padahal ini menyangkut ibunya, juga ibu dari suaminya. Sebagai anak tertua, mestinya tanggapan yang disampaikan Danang lebih simpatik, lebih menentramkan, dan lebih memperlihatkan kekhawatiran. Apalagi selama ini Danang semakin jarang menemui ibu. Aneh, tak adakah kerinduan pada ibunya yang mulai renta?

"Mas kan tahu ibu. Beliau susah diajak ke dokter. Walaupun ada uang, beliau bersikeras tidak mau menghamburkan uang buat berobat. Tapi sakitnya kali ini kayaknya serius. Ibu sampe gak mau makan," suara Ratih menekankan kata 'gak mau makan' dengan intonasi berbeda. Harapannya agar kakak iparnya tersentuh atau menaruh perhatian.

"Tolong jangan menambah beban pikiranku, Dik Ratih. Minggu ini Della wisuda. Kakaknya sedang persiapan buat khitbah. Bulan ini aku sibuk. Pekerjaan kantor pun banyak yang kena deadline. Kalau aku harus pulang dulu ke Cisaga, jelas gak mungkin," suara Danang mulai meninggi.

"Tolong urus baik-baik. Biar kutambah biaya buat ibu, di luar biaya bulanan yang biasa kuberikan," tambahnya.

Ratih hanya menghela napas. Ia ingin protes. Namun apa daya. Yang bisa dilakukannya hanya merutuk dalam hati. Masa iya, bakti pada orang tua cukup dengan lembaran rupiah. Padahal Ratih tahu, ibu sangat merindukan anak sulungnya. Apalagi sudah dua lebaran ini tak kunjung pulang.

Setelah menyimpan handphone, Ratih melongok ke dalam kamar. Ibu mertuanya tengah asyik masyuk dengan tasbihnya. Jemarinya yang kurus menyentuh tasbih satu demi satu. Dalam baringnya, bibir ibu senantiasa basah dengan asma-Nya. Tak sedetik pun beliau melewatkan waktu dengan hal lain, kecuali menyebut nama-Nya.

Dengan lembut Ratih menyentuh kaki ibu mertuanya.

"Ibu, makan ya? Saya sudah siapkan bubur kesukaan ibu,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline