Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

Diperbarui: 25 April 2020   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

Bagian 2

Pencarian Jati Diri: Rumah Tangga?

...you say I'm crazy...I know I'm not the only one... (I'm not the only one, Sam Smith)

Lebih kurang empat bulan sudah, Tegar bekerja di kantor kecamatan itu. Pekerjaannya adalah melayani masyarakat yang hendak membuat surat-surat administrasi kependudukan. Mulai dari KTP, kartu keluarga, pengantar akte kelahiran, pengantar akte perkaWulann, surat keterangan kematian, surat keterangan ahli waris, surat keterangan miskin, dan sebagainya. Singkatnya, semua surat-surat mulai dari manusia lahir, hidup sampai mati. Ditambah lagi pekerjaan membuat amplop surat.

Perjalanan pulang pergi dari kantor ke rumah selama 20 menit, dari hari Senin sampai Jumat, adalah hal yang disenangi Tegar. Ia dipinjami motor bebek buatan tahun 1980 milik ayahnya yang menjelang pensiun. Ia membawa bekal untuk makan siang di kantor dalam rantang yang disiapkan oleh ibunya.

Barangkali begitulah bapak dan ibunya turut bersyukur karena anak sulungnya kini bekerja. Kata mereka, bekerja adalah hakikat hidup manusia. Manusia perlu bekerja untuk makan, untuk memperoleh imbalan, gaji, upah, apapun itu, itu adalah uang.

Setelah itu manusia kawin, melahirkan anak, membesarkannya, menyekolahkannya, agar anak-anak mereka juga bisa bekerja nantinya. Mencari uang dan begitulah seterusnya, sampai satu-satu yang lebih dahulu lahir akan mati duluan.

Manusia bekerja untuk menghasilkan uang. Hanya itukah tujuan manusia bekerja? Adakah hal yang patut untuk disyukuri dari kenyataan yang hanya berulang-ulang seperti itu? Demikian pikir Tegar dalam benaknya, sesekali saat ia menyantap bekal makan siangnya di bangunan kantor yang cukup tua itu.

Masa empat bulan itu adalah masa bulan madu dalam pekerjaan Tegar. Ia tetap bersemangat berangkat kerja setiap hari. Mengetik blangko KTP, kartu keluarga dan surat-surat lainnya tentang manusia yang lahir, hidup sampai mati.

Setiap hari juga ia memacu motor bebeknya pulang dan pergi untuk bekerja, dan memakan bekal rantangan yang disiapkan ibunya. Mungkin benar bahwa cinta datang kalau telah terbiasa. Kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi citra diri Tegar dalam empat bulan terakhir.

Ia supel dan bergaul dengan siapa saja. Ia menjadi cepat akrab dengan para kepala desa dan perangkat-perangkat desa yang datang dan pergi silih berganti membawa berkas-berkas kepentingan warganya. Kesenangan Tegar dalam menjalani kesehariannya bukan karena ia telah berhasil menemukan motivasinya sendiri, tetapi karena dukungan dan motivasi rekan kerja yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak, Wulan namanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline