Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Antara Menjamurnya Kafe dan (Latihan) Filsafat Sartre

Diperbarui: 28 Juli 2019   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi kesibukan di kafe. ( © Unsplash)

Dalam kebiasaannya nongkrong di kafe-kafe di Prancis, Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filosof eksistensialis berkebangsaan Prancis, bersama sahabat seumur hidupnya, Simone de Beauvoir, seorang perempuan Prancis yang juga filosof eksistensialis dan berusaha menerapkannya pada feminisme, ia melewatkan banyak waktunya di kafe-kafe. 

Sambil menikmati kopi, teh atau cocktail, ia kerap bertukar pikiran seputar soal-soal eksistensi manusia. Tidak ada yang luar biasa soal hal ini, karena setiap manusia memang sejatinya adalah makhluk hidup yang menyadari eksistensinya.

Pada sebuah kesempatan di Bec de Gaz Bar di rue Montparnasse, Sartre nongkrong dengan sahabatnya Simone de Beauvoir dan Raymond Aron, sambil menikmati bahasan yang membuka kesadaran mereka secara radikal kepada lahirnya sebuah cara berpikir baru. Kata Sartre sambil menunjuk ke minumannya, "Kamu dapat berfilosofi melalui cocktail ini."

An inquiry at the old haunt of Sartre and de Beauvoir (sumber: https://i.pinimg.com)

Seperti novel-novel yang ditulis dan mengangkat kisah-kisah kehidupan manusia, dimana sebenarnya tidak ada lagi hal-hal baru yang diangkat dan pada dasarnya kisah-kisah itu telah juga diketahui oleh orang-orang, lalu apa gunanya berfilosofi kalau toh semua hal yang direnungkan oleh para filosof sebenarnya adalah juga hal-hal yang tidak lepas dari perenungan orang-orang kebanyakan?

Apa yang membuat mereka, para filosof, menjadi lebih terkenal daripada orang-orang kebanyakan yang juga berpikir dan bertualang dari kafe ke kafe?

Menurut Sartre, eksistensialisme adalah humanisme. Dengan itu, menurutnya para eksistensialis berangkat dari ketiadaan menuju kemanusiaan. Dalam pandangannya, humanisme yang diacunya jauh lebih suram dalam memandang manusia daripada humanisme dalam pandangan Renaisans. 

Hal ini tidak terlepas karena keberpihakan Sartre kepada apa yang disebut sebagai eksistensialisme ateis. Sartre memberikan analisis yang kejam terhadap situasi manusia ketika "Tuhan telah mati," sebuah frasa yang berasal dari Nietzsche.

sampul depan buku Sarah Bakewell: At The Existentialist Café - Freedom, Being, and Apricot Cocktail. (sumber: penguin.co.uk)

Terkait dengan eksistensi, menurut Sartre benda-benda material semata-mata "ada dalam dirinya sendiri," tapi manusia "ada untuk dirinya sendiri." Dengan kata lain, menurutnya eksistensi manusia mendahului dirinya, aku ada mendahului apakah aku ini, eksistensi mendahului esensi.

Karena itu, menurutnya tidak ada gunanya untuk mencari makna dari kehidupan pada umumnya, melainkan manusialah yang bertanggung jawab untuk membuat makna atas hidupnya sendiri. Menurutnya, manusia seperti aktor-aktor yang diseret ke atas panggung tanpa mengetahui perannya, tanpa naskah dan tanpa juru bisik yang akan membisikkan apa yang harus dilakukan di atas panggung. Kitalah yang harus memutuskan sendiri bagaimana cara kita hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline