Lihat ke Halaman Asli

Situt Saputro

Mahasiswa

Aku dan Kelam Kemerahan

Diperbarui: 21 April 2020   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tirto.id

Jombang, di suatu ingatan yang mustahil dilupakan.
Begitu mahalnya Pancasila,
begitu rapuhnya jiwa negara
dengan segala ketakutannya.

---

Duduk termangu dalam lamunan masa lalu, Haryati. Dalam pengasingan di sisa umur yang kalau Tuhan bersama segala keberuntunggannya tidak sebegitu kasihan. 

Sebuah kisah kelam atau orang banyak menyebutnya tragedi telah melalap jiwa, raga, bahkan nyawa si wanita yang sekujur rambutnya telah penuh warna putih.

Wanita yang telah lebih dari empat dekade mendiami sebuah panti lusuh di ujung kampung Gedeg Gede di pelosok Jombang mengabdikan diri untuk melatih dan membina anak-anak kampung yang mempunyai keinginan untuk menjadi penari, atau hanya sekadar melepas waktu luang untuk belajar meleok-leokan tubuh dengan diiringi sebuah lagu khas kejawaan yang semakin hari semakin sukar ditemui, kecuali melalui laman internet atau kaset recording dengan tape yang penuh debu dan bersuara lesu.

Tiada aktivitas lain yang dilakukan Mbak Yati ketika menunggu kedatangan teman-teman kecilnya tersebut pulang dari sekolah untuk melanjutkan pelajaran-pelajaran tari di halaman kecil belakang panti yang rindang dengan pohon mangga yang memenuhi pekarangan Pak Darsuki, pemilik dan pengasuh pondok panti tersebut. Yati hanya menghabiskan diri dengan melamun dan sesekali meneteskan air mata sejak pertama kali ia ditemukan di sebuah rawa di batas kampung di awal musim penghujan tiba

---

Jauh sebelum semua merenggut dan mengubah hidupnya. Yati adalah seorang mahasiswa seni drama dan tari di salah satu kampus di Surabaya. Seorang mahasiswi yang aktif, cerdas, dan supel dengan lingkungan kampusnya.

Yati menghabiskan waktu di luar kuliahnya dengan keliling mengajar tari dari sanggar satu ke sanggar lainnya. Hampir sebagaian wilayah Surabaya, hingga ke pinggiran Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto menjadi langganan Yati bersama teman-temannya berkeliling menularkan ilmunya.

Pengalaman Yati yang berhubungan dengan segala lini kelompok tari di sekitaran Surabaya tersebut menjadikan kesempatan untuk Yati sesekali ikut gerombolan dan rombongan klub tari untuk ngecrek manggung dari kampung satu ke kampung lain demi menghibur rakyar dalam dan mengumpulkan pundi-pundi duwit jajan.

Hingga suatu waktu berubah. Berita tentang hingar bingar dan simpang siur tragedi di Jakarta di akhir September 1965 tersebut sampai di Surabaya. Keadaan kota yang mencekam. Kelam, gelap, penuh curiga dan pengawasan. Keadaan yang makin genting ditambah rumor pembantian para simpatisan Partai Merah sudah menyentuh bibir kota Surabaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline