Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Sentana

Pendidikan dan sosial budaya

Di Rumah Ayah

Diperbarui: 22 Mei 2022   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku meihat jendela yang warnanya tua, papannya yang meredam peristiwa dan tirainya yang menyimpan baris baris kenangan.

Waktu seperti terhenti. Mataku kembali ke belakang. Ke masa kanak kanak. Berlarian. Bermain sepeda. Berjalan bersama ke masjid yang jauh letaknya. Beberapa kali kami ke laut. Bermalam di kapal. Memancing. Bahkan sesekali berlayar ke pulau menyertai tugas Ayah.

Di rumah Ayah, sepi seperti menjalar. Merayap pelan pelan. Emak membentangkan doa dengan sabar. Menanak nasi. Mengaji. Membereskan dapur, juga merasakan ngilu di tulang sendi.

Di sini semua kemewahan tak bisa diucapkan. Semua pengharapan telah dipikul masing masing. Rasa sykur adalah segalanya. 

Kehidupan mungkin bisa mengambil semuanya,  tapi tidak bisa mencuri kenangan yang melekat di jiwa. 

Tetiba daun pintu berderit. Jendela bergerak gerak. Angin yang rindu selalu menjenguk.

Ingin segera dan selalu kuketuk rumah Ayah,  duduk bersimpuh di dekat ibu dan mengenang waktu waktu sudah sambil bicara tentang cucu cucunya yang beranjak dewasa. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline