Lihat ke Halaman Asli

Taufik Ismed

Pengamat Komunikasi dan Sosial

Tahukah Kita Bahwa Kita Tidak Tahu?

Diperbarui: 5 Desember 2020   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: unsplash.com

Semakin ke sini, saya lebih sering menonton Youtube atau mendengar Podcast daripada membaca buku. Sulit sekali menyediakan waktu untuk membalik lembar demi lembar itu. Tapi tontonan saya sekarang semakin mengerucut. Tontonan saya lebih banyak berkisar kajian (apapun temanya), talkshow dan sedikit tayangan entertaint.

Salah satu tontonan yang saya sangat suka adalah tentang sejarah dan filsafat. Saya punya rekomendasi salah satu channel Youtube yang membicarakan filsafat dan pemikiran tokoh-tokoh filsafat dunia, terutama tokoh-tokoh Islam, yaitu MJS Channel. MJS Channel merupakan kanal resmi yang dikelola oleh Lini Media Masjid Jendral Sudirman, diperuntukan sebagai media dakwah dan penyebaran informasi kajian yang diselenggerakan Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Salah satu tema andalannya adalah Ngaji Filsafat yang dipandu oleh Ustadz Dr. Fakhrudin Faiz, MA. Temanya memang nampak berat, namun Ustadz Fakhrudin dapat mengantarkanya lebih santai dan sistematis. Pemula seperti saya dapat memahaminya dengan lebih mudah.

Cukup sekian promosi saya. Selain itu saya ingin berbagi kebaikan yang saya dapatkan dari channel tersebut. Biar tontonan kita tidak hanya diisi berita-berita hoax dan ketawa-ketawa saja.

Kembali ke judul. "Tahukah Kita bahwa Kita Tahu?" Artinya saya akan menulis tentang tahu menahu. Tepatnya tentang pengetahuan. Tepatnya lagi bagaimana seorang manusia memandang pengetahuan.

Menurut Hujjatul Islam Imam Al Ghazali, bahwa ada empat golongan manusia dalam memandang pengetahuan.

Satu, orang yang tahu bahwa ia tahu (rojulun yadri wa yadri annahu yadri). Ini adalah golongan terbaik. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan ('alim) dan ia sadar akan hal tersebut. Ia dapat mengamalkannya dengan maksimal dan mengajarkan ke orang banyak. Ia dapat menyelesaikan setiap persoalan dengan pengatahuannya tersebut. Ia juga mampu menuntun manusia lainnya ke arah yang lebih baik. Terhadap orang seperti ini kita harus mendekatinya agar kita memperoleh hikmah dan pengetahuan dari orang golongan pertama ini.

Kedua, orang yang tahu tapi ia tidak tahu dirinya tahu (rojulun yadri wa laa yadri annahu yadri). Orang seperti ini dapat kita analogikan seperti singa yang sedang tidur. Singa yang tidur, seberapapun ganasnya dia, keras aumannya atau tajam kuku dan taringnya, tidak akan bisa merobohkan seekor anak rusa pun. Karena semua potensinya tenggelam.

Begitulah manusia golongan kedua ini. Sebenarnya dia pintar dan berilmu. Tapi ia tidak menyadari itu sama sekali. Ia selalu merasa hampa dan tidak berguna. Pengetahuannya tidak akan memberi manfaat untuk lingkungan sekitar. Jika kita berada di sekitarnya, kita harus membangunkannya. Mengingatkan bahwa ia punya permata yang sangat bermanfaat untuk ummat.

Ketiga, orang yang tahu bahwa ia tidak tahu (rojulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri). Walau orang ini kurang pengetahuannya, menurut Imam Al Ghazali, golongan ini masih tergolong baik. Walau tak seperti golongan pertama. Golongan ketiga ini memang tidak tahu, tapi ia memiliki kesadaran terhadap ketidaktahuannya. Ia tidak akan sok tahu atau sok pintar hingga tidak akan membuat kerusakan di sekitarnya.

Dalam kesadarannya tersebut ia akan terbuka terhadap masukan dan punya kesempatan untuk intropeksi diri. Kurangnya pengetahuannya akan menjadikannya semangat dalam mencari ilmu pengetahuan. Harapannya golongan ketiga ini bisa meningkat menjadi golongan pertama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline