"Apa jadinya kalau hasrat punya barang mewah ternyata bukan soal duit, tapi tentang otak dan kebahagiaan yang cuma sementara?"
Pernah gak ngerasa dompet kok rasanya makin tipis, padahal gaji tiap bulan udah lumayan? Bukannya karena gaji kurang, tapi gara-gara ada dorongan yang kuat banget buat punya barang-barang yang lagi viral di media sosial. Tas mahal, jam tangan keluaran terbaru, sampai sneakers edisi terbatas yang harganya bikin pusing. Gak cuma influencer, kita yang 'orang biasa' ini juga ikutan kesengsem. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa sih kita kok rela ngabisin uang banyak buat barang-barang kayak gitu? Apa iya barang mewah itu bisa bikin kita bahagia?
Jawabannya, ternyata masalah ini gak cuma soal duit, tapi lebih ke cara kerja otak kita. Ini adalah perang batin antara logika dan naluri, antara kebutuhan dan keinginan. Barang mewah itu bukan lagi sekadar produk, tapi udah jadi alat buat memenuhi kebutuhan psikologis yang jauh lebih dalam.
Secara Psikologis Bukan Cuma Butuh, Tapi Gengsi dan Dopamin
Kalau kita kupas, ada beberapa alasan kenapa barang mewah itu punya daya tarik kuat banget. Pertama, ini soal simbol status dan gengsi sosial. Dari dulu, orang pakai barang-barang mahal buat nunjukkin kesuksesan, kekayaan, dan posisi sosial. Punya barang mewah seolah jadi tanda kalau kita udah naik kelas dan pantas dihormati. Ini adalah kebutuhan dasar psikologis buat diakui dan dianggap penting oleh lingkungan.
Kedua, ini soal dopamin di otak. Proses membeli barang mewah itu bikin kita senang, bangga, dan puas. Perasaan ini muncul karena otak melepaskan hormon dopamin, zat kimia yang bertanggung jawab atas rasa bahagia. Ini yang bikin kita nagih. Setiap kali beli barang baru, kita dapet rush dopamin, dan ini yang bikin kita ketagihan buat beli lagi dan lagi. Itu makanya, banyak orang yang menjadikan belanja sebagai self-reward atau pelarian dari stres.
Dilansir dari CNBC Indonesia, keputusan membeli barang mewah lebih dari sekadar kebutuhan, melainkan juga mencerminkan identitas, pengalaman, dan aspirasi pribadi. Selain itu, ada juga efek halo, di mana kita cenderung menilai produk secara positif hanya karena reputasi baik dari mereknya. Misalnya, kita yakin kualitasnya bagus cuma karena itu merek terkenal, padahal mungkin ada produk lokal yang kualitasnya gak kalah jauh.
Dampaknya Gak Cuma Bikin Bokek, Hati pun Ikut Rusak
Nah, kalau dorongan psikologis ini gak dikendalikan, kita bisa terjebak dalam masalah serius. Pertama, jelas masalah finansial. Keinginan buat terus-menerus beli barang mewah seringnya bikin kita kebablasan. Ujung-ujungnya, utang numpuk, tabungan ludes, dan gak punya dana darurat. Gaji bulanan yang tadinya cukup, tiba-tiba terasa kurang karena sebagian besar habis buat bayar cicilan atau beli barang yang gak perlu.
Kedua, masalah mental dan emosional. Kesenangan yang kita rasakan setelah membeli barang mewah itu cuma sementara. Setelah beberapa hari, rasa puas itu hilang dan kita butuh dopamine rush baru. Ini yang bikin kita gak pernah benar-benar merasa puas, selalu merasa ada yang kurang. Dalam kasus yang lebih parah, perilaku ini bisa jadi kecanduan belanja atau shopaholic. Dikutip dari Alodokter, kecanduan belanja ini termasuk dalam gangguan kontrol impuls yang bisa memicu masalah ekonomi dan sosial.
Baca juga: Keuangan Keluarga, Bukan Sekadar Angka di Rekening Tapi Detak Jantung Hubungan Kita
Solusinya Mengendalikan Pikiran, Bukan Sekadar Dompet
Jadi, gimana caranya kita bisa keluar dari jebakan ini? Solusinya bukan cuma dengan menahan diri, tapi harus mulai dari mengubah pola pikir kita. Ini adalah pertempuran yang harus dimenangkan di dalam diri sendiri.