Paseban Agung, Titah Sultan
Langit Demak siang itu biru pucat, tapi udara di dalam istana terasa tebal dan berat. Paseban Agung dipenuhi para bangsawan, adipati, dan wali yang duduk bersila berhadap-hadapan. Gamelan pelan berbunyi dari kejauhan, hanya sekadar menambah khidmat.
Di singgasana, Sultan Trenggana duduk dengan jubah putih bertepi emas. Sorot matanya tajam, namun wajahnya teduh. Di hadapannya, Mas Karebet menunduk hormat, menyerahkan laporan kemenangan dari laut Rembang. Di atas nampan kayu diletakkan keris berukir naga dan teratai---bukti yang membakar udara.
Sultan mengangkat keris itu perlahan. Cahaya matahari yang masuk dari sela tirai membuat bilahnya berkilau. Suara Sultan tenang, tapi menusuk:
"Keris ini... milik siapa, Karebet?"
Semua mata menoleh ke arah Karebet. Para adipati menahan napas. Sunan Kudus yang duduk di sisi kanan Sultan hanya diam, wajahnya tak terbaca.
Karebet menjawab dengan suara mantap:
"Hamba tidak berani menuduh, Kanjeng Sultan. Hamba hanya menemukannya di kapal perompak. Hamba serahkan keputusan sepenuhnya pada Paduka."
Hening sejenak. Sultan meletakkan keris di hadapannya, lalu menatap para hadirin. Beberapa wajah bangsawan terlihat gusar, sebagian lagi justru tersenyum samar, seakan menunggu apa yang akan terjadi.
Bisikan di Antara Bangsawan
Adipati-adipati mulai berbisik pelan. Nama Arya Penangsang melayang di udara seperti asap dupa, tak ada yang berani menyebut keras-keras, tapi semua paham arah tuduhan. Beberapa menganggap ini fitnah terencana, sebagian lain menilai inilah kesempatan menyingkirkan sang Adipati Jipang yang keras kepala.