Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Lalu, Siapa Gurumu?

Diperbarui: 30 November 2019   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: satanandsuns.com

Di setiap rentang waktu, manusia tak lebih hanya sekedar pejalan. Berpetualang mengarungi drama kehidupan dengan berbagai peran yang disandangnya. 

Dapatkah manusia memilih peran? Terkecuali mereka sekedar menjalankan perintah Sang Sutradara. Layaknya sebuah pertunjukan, semua mesti tersingkap rapi dan saling bersinergi agar pesan dan nilai dapat tersampaikan dengan baik.

Namun, segala drama kehidupan yang diprakarsai oleh Sang Sutradara tidak butuh penonton, tidak butuh untung atau rugi, tidak butuh apresiasi ataupun reward dalam bentuk apapun. 

Naskahnya telah tertulis dalam Lauh Mahfuz. Jadi, semua kehidupan hanyalah sebuah ruang pembelajaran bagi setiap pemeran yang mementaskan drama kehidupannya.

Semua sangkan sesungguhnya hampa, semua rasa pun tak lebih dari sekedar fatamorgana. Semua keadaan yang sering manusia sangka sebagai suatu masalah pun hanya sebuah rekayasa yang telah mendapat ijin untuk lekas ditayangkan ke permukaan. 

Perselisihan ataupun pertikaian yang terkadang mesti dibayar dengan nyawa pun demikian adanya. Semua akan mengalami proses yarjii'un, sebelum benar-benar bertemu dengan rojii'un.

Biarkan manusia yang sibuk bercumbu dengan nafsunya. Karana manusia yang lain tak akan pernah mengetahui yang tersingkap dalam hujatan-hujatan manusia alim yang sering menyatakan perkataannya sebagai sebuah kebenaran. 

Semua berguru kepada sanad-sanad pengetahuan dengan pondasi budi dan pekerti yang masih dibangun dengan materi. Dengan memforsir bahkan mengeliminasi cinta dirinya kepada sesama para hamba, begitu pun dengan semesta.

Padahal, semua itulah perwujudan ilmu dari Yang Maha Pengasih. Tapi, begitulah naluri manusia tercipta untuk bertempur bukan dengan sejarah, bukan dengan sistem pemerintahan, ataupun bukan dalam persaingan kekuasaan nan jaya. 

Namun, pertempuran itu adalah sebenar-benarnya melawan diri sendiri. Untuk selalu meluaskan cakrawala pandang, untuk lebih melebarkan muatan hati

Tapi, semua terlanjur tersingkap oleh hijab-hijab yang mengendap semakin menutupi mata pandang. Mata hati pun seolah telah buta untuk sesekali menerawang kesejatian yang bersembunyi di balik wujud, rupa, bahkan kata yang selalu kita hadapi setiap hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline