Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Tekad

Diperbarui: 9 Februari 2021   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ayam jantan berkokok menyambut pagi. Saatnya aku bertarung dengan kerasnya kehidupan. Aku seorang anak yatim, ayahku meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Mau tidak mau aku harus menjadi tulang punggung keluarga saat aku berusia 17 tahun. Aku harus menghidupi keluarga kecilku, jangan sampai saat besar nanti adikku merasakan hal yang sama. Aku harus menjadi orang yang sukses.

"Bu, Rizal berangkat dulu Bu." ucap Rizal sambil mencium tangan ibunya.

"Iya nak, hati-hati dijalan, ibu do'akan semoga semuanya lancar."

"Amin bu. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku pergi sekolah dengan menaiki sepatu yang sudah jebol dan menganga. Namun tak apa, semua harus disyukuri, sepatu ini nanti akan menjadi saksi perjuangan hidupku. Sebentar lagi aku menghadapi ujian akhir untuk lulus dari sekolah ini dengan tunggakan uang sekolah yang sudah menumpuk seperti cucian baju dan harus segera aku cuci.

Menjadi tukang parkir, kendek angkot, berjualan di terminal. Itu semua aku lakukan demi mencari seberkas uang untuk membayar uang sekolah. Apa pun akan aku lakukan asalkan pekerjaan tersebut halal. Terkadang aku lelah dengan semua ini, mengapa aku tidak seperti teman-teman yang lain yang hanya tinggal belajar, tidak memikirkan apakah beras di rumah masih cukup untuk makan besok. Namun aku berpikir, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Aku hanya harus melangkah sedikit lagi, dengan doa ibu yang selalu menyelimuti di setiap pekerjaan ku. Aku selalu teringat akan kalimat yang pernah ibu lontarkan "Nak maafkan ibu tidak bisa menjadi ibu yang baik, seharusnya ibu yang mencari nafkah untuk anak-anak." Aku tidak tega ibu berkata seperti itu, aku sudah besar. Sudah cukup ibu membesarkan aku. Kini giliran aku yang harus membantu pekerjaan ibu.

Dengan semua lika liku yang telah aku lewati, akhirnya aku bisa lulus dari sekolah. Tapi sampai kapan aku bekerja seperti ini? Apakah aku bisa menghidupi keluarga ku dengan uang yang sedikit? Bagaimana adikku bisa sekolah jika aku hanya bekerja seperti ini. Ibu sudah tua, aku belum bisa membahagiakannya. Ibu berjualan kue sambil menggendong adik kecil ku. Sungguh pemandangan yang sangat tidak indah. Mungkinkah aku harus pergi ke ibu kota. Bekerja di gedung-gedung tinggi dan mempunyai banyak uang. Itu yang aku harapkan.

"Bu, Rizal pikir Rizal harus pergi ke ibu kota"

"Tidak Rizal, ibu khawatir, sudah cukup ditinggal oleh ayahmu."

"Bu, tapi apa yang ibu harapkan dari Rizal? Jika Rizal seperti ini?."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline