Lihat ke Halaman Asli

Tantrini Andang

penulis cerpen dan buku fiksi

Aroma Cendana dan Sepotong Kecemasan

Diperbarui: 12 Maret 2021   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sudah merasakan kehadiranmu sejak beberapa hari terakhir ini. Iya itu memang engkau. Siapa lagi yang suka mengenakan parfum aroma cendana di rumah ini? Sejak kau pergi, aku tak pernah mencium aroma cendana itu lagi. Tak ada.

Aku tak akan pernah lupa saat  engkau menyemprotkan parfum cendana itu ke tubuhmu setiap selesai mandi. Dirimu dan aroma cendana itu begitu menyatu. Seperti tinta dan buku. Kau pernah mengatakan padaku bahwa aku akan selalu ingat padamu setiap mencium aroma cendana. Dan itu terbukti hingga saat ini.

Namun tahukah engkau, aroma yang sangat kuhafal itu membuatku cemas beberapa hari terakhir ini?  Meskipun aku berusaha menghibur diriku sendiri dengan berpikiran bahwa itu hanya caramu untuk melepas rindu, namun tak urung aku juga berpikir lain. Ada hal  yang membuatku takut menghadapi hari-hariku ke depan. Apalagi aroma itu muncul hanya di kamar ibu, tempat perempuan terkasih itu kini sedang terbaring  sakit.

Di sela kecemasanku, aku masih berharap apa yang kucemaskan tidak akan terjadi. Kau harus tahu bahwa saat ini aku masih sangat membutuhkan  ibu. Perempuan yang sama-sama kita cintai itu adalah penyemangat hidupku. Setelah kehilanganmu, aku tak ingin kehilangan ibu.

Pagi ini aroma cendana itu kembali menguar saat aku memasuki kamar ibu. Aku melangkah  menuju jendela.  Kubuka jendela lebar-lebar. Sempat kupikir barangkali tetangga sebelah juga menggunakan parfum yang sama denganmu lalu aromanya masuk melalui jendela kamar. Namun akhirnya aku meragukan kemungkinan itu setelah kurasakan di dekat jendela itu aromanya terasa lebih samar.

Aroma itu semakin menguat di dekat ranjang, tempat ibu  terbaring lemah beberapa waktu terakhir ini. Kulihat mata ibu masih  terpejam. Perut ibu bergerak naik turun seirama alunan napasnya yang perlahan. Di tangannya tergenggam seuntai rosario. Hanya benda itu yang tak pernah lepas dari genggamannya. Barangkali benda itu pula yang membuat ibu merasa lebih tenang dan pasrah.

Kondisi ibu belum membaik sejak sebulan lalu. Tubuhnya makin lemah dan kurus. Kini ditambah dengan munculnya aroma cendana itu, bagaimana mungkin aku tidak gelisah?

Aku tidak tahu apakah ibu juga mencium aroma itu.  Penyakit ibu memang agak mengurangi kepekaan panca indranya. Namun aroma cendana ini sudah melekat dengan jati dirimu. Ibu pasti juga langsung teringat padamu jika bisa mencium aroma ini,

Kadang aku berharap aroma cendana itu berasal dari ibu  yang bangun dari ranjangnya, lalu mengambil botol parfum cendana yang kau tinggalkan di lemari. Setelah itu ibu menyemprotkan ke tubuhnya untuk mengobati rindunya padamu. Jika benar demikian aku bisa berlega hati. Bukankah itu artinya ibu mulai pulih? Sementara  segala kecemasan yang menghantuiku beberapa hari terakhir sejak munculnya aroma cendana itu  pun tak berarti apa-apa lagi.

Namun sepertinya harapanku itu tidak terjadi. Kenyataannya ibu tidak bisa bangun sendiri. Jadi? Aroma itu memang bukan berasal dari botol parfum di dalam lemari. Bukan pula berasal dari rumah tetangga melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Aroma itu memang berasal dari kehadiranmu. Memikirkan itu, kecemasanku pun mulai datang lagi.

"Tok?" Suara ibu membuyarkan lamunanku. Wajah ibu masih pucat. Namun aku melihat ada binar  di kedua matanya. Seketika aku menghela napas lega. Apakah ini pertanda ibu akan pulih kembali? Jika demikian maka aroma cendana pertanda kehadiranmu itu bisa kuartikan lain. Engkau hadir karena rindu pada ibu. Hanya itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline