Lihat ke Halaman Asli

Syukron Adzim

Menuliskan imajinasi

Hari Anak Nasional: Dari Anak Pekerja ke Anak Milineal

Diperbarui: 23 Juli 2019   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret anak masa kolonial Belanda (Dok:Historia.id)

Hari Anak Nasional, satu dari sekian banyak momentum untuk mengingat pentingnya melindungi hak-hak anak. Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengangkat tema "Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak" dengan pesan utama Kita Anak Indonesia, Kita Gembira! #KitaGembira.

Munculnya hari anak nasional berawal dari pemikiran dari Presiden Soeharto mengenai nasib anak-anak Indonesia sebagai aset berharga bagi bangsa dan sudah sepantasnya untuk dilindungi. Oleh sebab itu, Presiden Soeharto melalui  Kepres No. 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional menetapkan tanggal 23 Juli sebagai hari anak nasional.

"[...] dari Istana Negara ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh anak Indonesia. Bergembiralah dan tumbuhlah menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, taat kepada orang tua, patuh kepada bapak dan ibu guru, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta kepada Tanah Air kalian yang indah dan luas ini," ujar Soeharto ketika meneken keputusan Hari Anak Nasional 1984.

Sejak saat itu hari anak nasional selalu diselenggarakan dengan mengangkat tema dan tempat yang berbeda setiap tahunya, misalnya Perlindungan Anak Dimulai dari Keluarga di Riau (2017), dan GENIUS (Gesit, Empati, beraNI, Unggul, Sehat) di Surabaya (2018).

Satu aspek yang penting dalam peringatan itu adalah wujud apresiasi pemerintah pada generasi anak-anak yang telah berkontribusi besar dalam catatan historis negara ini. Anak-anak telah terbukti memiliki tempat secara mutlak dalam hal ini.

Dimasa lalu, zaman penjajahan, anak-anak mengalami masa kelam. Ketika itu, belanda menjadikan anak-anak, laki-laki dan wanita, sebagai budak baik budak perkebunan, buruh bangunan maupun pelayan.

Sebagai budak, mereka bekerja siang-malam tanpa digaji, sering disiksa atau bahkan dibunuh. Selain itu, mereka juga tidak bisa bermain maupun mengenyam pendidikan karena waktu itu sekolah hanya diperuntukan untuk golongan bangsawan atau ningrat.

Keadaan seperti ini tidak jauh berbeda sampai kedudukan berpindah tangan ke Jepang. Dibawah tapuk kekuasaan jepang, perbudakaan masih berlangsung meskipun menunjukkan angka penurunan.

Ketika itu, Jepang memanfaatkan anak-anak sebagai tentara cadangan yang dilatih baris-berbaris guna mempersiapkan perang asia pasifik.

Sehingga dapat dikatakan kurun waktu penjajahan, belanda dan jepang, kekerasan, eksploitasi dan pemerasan merupakan bagian dari perbudakan yang menyebabkan belum adanya bentuk perlindungan terhadap anak-anak.

Setelah merdeka, tidak ada lagi perbudakan anak melainkan perlindungan terhadap anak-anak meningkat. Seperti sudah disinggung diatas, Kepres No. 44 Tahun 1984, merupakan wujud pemerintah untuk melindungi hak-hak anak. Kemudian Indonesia juga menjadi bagian konvensi hak-hak anak dunia tahun 1989 di New York.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline