Syarif Hidayatullah. Meskipun tengah menghadapi musibah global pandemi Covid 19, tentu saja kita jangan sampai melupakan momen-momen dan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan kita sebagai bagian dari warga NKRI yang memiliki ideologi negara, sekaligus sebagai pondasi bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, berupa Pancasila, yang hari ini sedang kita peringati hari kelahirannya, 1 Juni 2020, atau peringatan HUT yang ke-75.
Sebab, dengan merujuk pada ulasan Jawahir Gustav Rizal (2020) pada ditayangkan di Kompas.com edisi hari ini dengan judul "Hari Ini dalam Sejarah: Hari Lahir Pancasila", tepat pada 1 Juni 1945 lalu berlangsung sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang itu, Ir. Soekarno menyampaikan lima sila atau dasar yang merupakan konsepnya mengenai dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya pada sidang BPUPKI itu, Bung Karno merangkum kelima sila tersebut dalam satu kesatuan istilah yang disebut sebagai Pancasila.
Tak bisa dipungkiri di tengah mengidealkan Indonesia mengembangkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila sebenarnya bangsa ini tengah menghadapi ancaman fundamentalisme agama dan sekularisme, yang keduanya berdampak destruktif bagi sebuah keseimbangan sosiol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila masih terus perlu dibumikan dan dibudayakan baik di tingkat ide dan praksis, dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan keagamaan.
Dalam upaya penguatan Pancasila sebagai vision of state, menurut Saharizal (2010: 1), paling tidak ada dua persoalan yang penting menjadi agenda bersama. Pertama, membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya dapat diimplementasikan. Sebagai ilustrasi, nilai sila kedua Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas.
Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (masyarakat). Pada tataran pendidikan formal, perlu revitalisasi mata pelajara, terutama pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama.
Belajar dari Dinamika Relasi Pancasila dan Islam
Sikap yang tepat terhadap Pancasila oleh semua lapisan warga dan bangsa Indonesia, terutama umat beragama, apalagi umat Islam, akan menutup kesenjangan antara konsep keummatan dan kenegaraan, khususnya karena mayoritas penduduk negara ini beragama Islam.
Dengan demikian, Menurut Nurcholis Madjid (1995: 12-3), kaum Muslimin yang diwakili oleh "para pemimpin umat" akan merasa ikut punya tanggung jawab sepenuhnya terhadap negara, sehingga dapat melandasi perkembangan lebih lanjut dalam hubungan antara Islam dan Indonesia, yaitu bahwa keislaman adalah keindonesiaan, dan keindonesiaan adalah --sebagian besar-keislaman.
Dari kilasan sejarah kita mengetahui mengapa pada tahun 1983 NU akhirnya menerima secara tegas Pancasila sebagai satu-satunya azas. Sebab, dalam kerangka fiqih NU, Pancasila dipandang semata-mata sebagai salah satu dari sekian prasyarat dari legalitas Negara Republik Indonesia dan, walaupun itu, tidak dapat diartikan sebagai prasyarat keagamaan.