Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Jangan Ajari Anakmu Suka Jajan

Diperbarui: 20 April 2020   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jajan" di sini dalam makan yang ghalib, kesenangan untuk membeli sesuatu yang sejatinya tidak penting, hanya karena kepingin dan bukan berdasarkan kebutuhan. "Jajan" ini sering disematkan kepada anak-anak.

Kenapa begitu, karena kita memandang anak-anak belum memiliki kemampuan matang untuk membedakan mana yang disebut keinginan, mana yang disebut dengan kebutuhan. Asalkan suka, dan mereka ada uang, maka mereka akan "jajan".

Kebiasaan jajan ini tentu tidak baik. Alasan mendasarnya adalah boros. Karena seberapapun keinginan itu difasilitasi, tidak akan cukup. Bahkan jika dunia dan seisinya diperuntukkan memenuhi keinginan seseorang, tidaklah akan cukup. Karena ukurannya adalah keinginan, bukan kebutuhan. Jika tidak ada batasnya, sudah jelas, efek sampingnya dalah jebolnya dompet. Alias pemborosan.

Alasan lain yang lebih mendasar adalah kebiasaan jajan dikhawatirkan membangun persepsi dasar dalam diri si anak, bahwa kesenangan yang dia harapkan bisa diperoleh asalkan punya uang.

Di bawah sadarnya akan tertanam bahwa uang adalah dewa, karena dia bisa membeli kesenangan yang dia inginkan. Wal hasil, orientasi hidupnya tidak mampu menembus jauh kepada batin kehidupan, melainkan hanya sebatas uang yang sangat artifisial.

Pengaruhnya jelas sangat besar, jika dia kelak menjadi seorang pemimpin, yang dikejar bukan menjadi pemimpin baik, namun bagiaman mendapatkan uang lebih. Jika menjadi guru pendidik sekalipun, tidak akan jauh melihat lebih dalam selain bahwa anak-anak di hadapannya adalah sumber kehidupannya, alias mesin uang.

Jadilah generasi suka jajan ini orang-orang yang pragmatis dan artifisial. Sulit mendapatkan pemahaman nilai, karena yang dia ketahui adalah angka perbandingan, uang dengan nilai sekian bisa dipakai untuk membeli barang sekian. Tidak lebih. Maka sebaiknya sadari sejak awal bahwa jajan itu harus dengan pertimbangan yang lebih mendasar.

Dalam dimensi lain, kebiasaan jajan ini juga cukup berbahaya ketika sampai membangun cara berpikir anak. Dalam beragama dengan mudah anak hasil tradisi jajan ini hanya akan memahami cara berpikir transaksional. Saya ibadah sekian akan mendapat sekian dan enggan untuk melihat jauh ke dalam sanubari ajaran moral, karena yang dipahami sebatas yang bisa dihitung.

Meskipun demikian, seringkali jajan itu justru menjadi ukuran kasih sayang orang tua. Semakin besar uang jajannya disebut semakin sayang. Padahal secara substansi orang tua itu seperti sedang menggiring anak pada cara berpikir yang tidak tepat. Berapa banyak anak yang tiba-tiba membenci orang tua karena tidak beri uang jajan.

Berapa banyak orang tua yang rela mengorbankan nilai gisi asupan makanan keluarga hanya asal anak bisa jajan di luar. Bisa sama dengan yang lain. Kasihan jika temannya jajan, sementara dia tidak jajan sendirian. Betapa naif cara berpikir kita, seringkali mengorbankan masa depan yang panjang, dengan mengejar pencitraan dan kesan wah di waktu yang pendek, dan itupun bersifat merusak.

Jangan heran jika manusia kita berisi manusia payah dan lemah dalam berjuang. Karena sejak kecil dia tidak memiliki asumsi bahwa hidup adalah perjuangan, melainkan transaksi. Hidup bukan penghargaan, melainkan membeli. Hidup bukan integritas melainkan banyaknya nilai uang di saku celana. Hidup bukan soal menjadi orang berguna, tapi bagaimana mendapatkan kawan dengan cara mentraktir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline