Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Idul Adha di Mata Kaum Buta Aksara

Diperbarui: 31 Juli 2020   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GErakan BERantas BUta aksaRA (Sumber: TBM Lentera Pustaka)

Mumpung waktu senggang, Idul Adha kali ini saya gunakan untuk evaluasi program Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sudah 1,5 tahun program itu berjalan. Awalnya hanya 4 ibu, lalu susut jadi 2 ibu dan kini bertambah jadi 11 ibu-ibu. Dan hasilnya, memang mereka sudah bisa baca walau masih tersendat. 

Sementara menulis belum. Karena saya percaya, menulis akan lebih mudah bila terbiasa membaca. Maka ke depan, bukan hanya kesabaran Tapi butuh komitmen dan pengorbanan yang lebih besar lagi. Agar kaum ibu ini benar-benar bebas dari buta aksara.

Sayangnya, ada yang luput dari pengamatan saya. Ternyata, kaum ibu warga belajar tingkat pendidikannya 33,3% SD, dan 66,7% SD tapi tidak lulus. Memang benar, memberantas buta aksara itu tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu dan proses yang panjang. 

Apalagi bagi mereka yang sudah tidak lagi muda, ibu rumah tangga pula, dan mungkin belajar baca-tulis bukanlah prioritas dalam hidupnya. Hanya satu modal yang jadi andalan mereka, masih ada kemauan. Itu saja.

Di GEBERBURA, saya sendiri tidak pakai kurikulum keaksaraan nasional karena memang sulit diterapkan. Terlalu kaku dan step by step-nya tidak cocok. 

Maka saya bikin metode "be-nang" alias belajar dengan senang. Selalu berdoa, selalu ada canda, selalu ada PR, bahkan tiap datang pun tiap peserta saya hadiahi seliter beras atau mie instan atau jajan bareng asal sudah baca dan tulis.

Maklum, warga belajar di GEBERBURA memang tidak bisa baca. Tangannya pun terlalu kaku untuk menulis. Mulut dan lidahnya harus adaptasi dalam mengeja suku kata. 

Persis seperti yang mereka bilang ke saya, "Pak, maaf saya ini tidak tahu tanggal lahir bahkan menulis nama pun tidak bisa". Dan alhamudlillah, sekarang mereka sudah bisa tulis nama dan tanda tangan walau tetap tidak tahu tanggal lahirnya. Apapun perlunya, Ibu harus tulis nama sendiri dan tanda tangan sendiri, jangan diwakilkan ke orang lain, begitu kata saya pada mereka.

Maka hikmah sederhana Idul Adha kali ini. Minimal buat saya. Adalah menambah pengorbanan dan kepedulian untuk tetap mengajarkan mereka. Agar benar-benar bebas dari buta aksara, agar bisa membaca dan menulis hingga tuntas. Entah, kapan waktu itu tiba?

Karena saya yakin, hanya kepedulian yang bisa membebaskan mereka dari belenggu buta aksara. Seberapapun nikmatnya sate kambing atau sop sapi "qurban" yang saya cicipi. Serasa masih ada mengganjal bila di dekat saya masih ada kaum yang buta aksara, tidak bisa baca tidak bisa tulis. Apalagi di era digital kayak begini. Tentu, kita tidak cukup hanya dengan mengasihani mereka. Maka, ubah setiap niat baik jadi aksi nyata, kapan pun dan dimana pun. LAWAN BUTA AKSARA #GEBERBURA #TBMLenteraPustaka #BerantasButaAksara




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline