Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Alam

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lahan Subur Bagi Rokok Ilegal

Diperbarui: 13 September 2025   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Smith Bebas Cukai (https://www.wargata.com)

Sejak 2015, pemerintah rutin menaikkan tarif cukai rokok dengan alasan menekan konsumsi dan menjaga penerimaan negara. Kenaikannya rata-rata 8--13% per tahun, bahkan sempat melonjak hingga 23% pada 2020. Hanya pada 2019 tarif tidak naik sama sekali.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan kenaikan harga tidak serta-merta membuat orang berhenti merokok. Setelah lonjakan 23% pada 2020, prevalensi perokok hanya turun tipis 0,34%. Pada 2022, jumlah perokok dewasa masih di angka 28,26%, hanya turun 0,7 poin dari tahun sebelumnya. Artinya, cukai berhasil mendongkrak harga, tapi dampaknya terhadap penurunan konsumsi nyaris tidak terasa.

Masalah lain datang dari struktur cukai yang rumit. Rokok dibagi ke dalam berbagai golongan, dengan tarif yang berbeda jauh. Misalnya, tarif cukai per-batang rokok kretek mesin golongan satu sudah di atas seribu rupiah, sementara golongan dua hanya sekitar tujuh ratusan.

Tidak berhenti disitu, inflasi akibat kenaikan rokok juga membekas lebih lama. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada awal 2023, inflasi rokok kretek menyumbang 1,7% terhadap inflasi nasional, sedangkan rokok kretek filter bahkan lebih tinggi, 1,94%. Kenaikan harga itu tidak berhenti di awal tahun saja, melainkan terus terasa sepanjang tahun.

Kenaikan tarif juga menekan produksi rokok legal. Dalam lima tahun terakhir, produksi nasional turun lebih dari 10%, dari 355 miliar batang pada 2019 menjadi sekitar 318 miliar batang pada 2023. Penurunan paling tajam dialami rokok putih, yang produksinya susut lebih dari sepertiga.

Memasuki tahun 2024, masih berlanjut dengan bab yang tak jauh berbeda: harga kembali naik. Pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai rata-rata 10% sejak awal tahun, sebuah pola kebijakan yang konsisten sejak hampir satu dekade lalu. Tujuannya masih sama yaitu menekan konsumsi dan menjaga penerimaan negara. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, kebijakan ini lebih terasa sebagai beban di kantong perokok ketimbang pengurang jumlah batang yang dibakar setiap hari.

Dampak dari dinamika rokok tak hanya terasa di kantong perokok, tapi juga menghantam langsung jantung industri: pabrik. Gudang Garam, salah satu raksasa rokok tanah air, menjadi contoh nyata betapa beratnya beban yang ditanggung perusahaan. Dengan konsumsi yang makin tertekan, produksi menyusut, dan laba yang terus merosot, perusahaan pun mulai melakukan langkah efisiensi besar-besaran.

Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) sempat mencuat dan viral di publik, memunculkan kekhawatiran ribuan buruh akan kehilangan pekerjaan. Namun, pihak Gudang Garam kemudian menegaskan bahwa yang terjadi bukanlah PHK massal, melainkan pelepasan karyawan melalui mekanisme pensiun normal, pensiun dini sukarela, maupun berakhirnya kontrak kerja. Meski begitu, kabar ini tetap menimbulkan keresahan karena masyarakat tahu betul bahwa industri rokok adalah nadi ekonomi di Kediri dan sekitarnya.

Harga rokok di Indonesia ibarat bola salju yang terus menggelinding menanjak. Setiap kali pemerintah mengetok palu kenaikan cukai, harga sebungkus rokok ikut merangkak naik. Misalnya, rokok kretek mesin golongan satu yang diproduksi Gudang Garam, kini rata-rata dijual di atas Rp 27.000 per bungkus. Dari harga itu, lebih dari setengahnya bukan murni untuk perusahaan, melainkan langsung tersedot ke kas negara dalam bentuk cukai dan pajak. Misal: ketika pembeli rokok mengeluarkan Rp 27.000 untuk membeli sebungkus rokok surya, ternyata hanya sekitar Rp 9.000 yang benar-benar kembali ke Gudang Garam sebagai harga bersih.

Sisanya, hampir dua pertiga harga jual justru masuk ke kantong negara lewat cukai, PPN, dan pajak rokok. Dengan kata lain, setiap kali perokok menyalakan sebatang Surya, yang ikut "panas" bukan cuma paru-paru, tapi juga setoran pajak yang langsung membumbung ke kas negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline