Lihat ke Halaman Asli

Presiden Bersikap Ambigu, Standar Ganda.

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari lima pokok pandangan Presiden yang menjadi arahan kepada Kapolri seperti disampaikan Senin malam kemaren, masalah upaya penangkapan Kompol Novel Baswedan yang terkait dengan jabatan sebagai penyidik KPK menjadi perhatian khusus. Presiden dengan sangat berhati hati mengungkapkannya dengan bahasa sebagai ‘pandangan’ untuk tidak memberi kesan bahwa beliau masuk jauh ke tehnis operasional Polisi. Secara hati nurani beliau tidak ingin melakukan hal ini. Namun konflik Polri vs KPK dan opini publik menempatkan dia pada posisi dilematis.


Dalam pandangan saya, hal inilah yang kemudian menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap ambigu dan standar ganda pada kasus “insiden Novel” yang kontroversial itu. Pernyataan equal before the law, kesetaraan didepan hukum yang menjadi prinsip dasar berfikir presiden tidak selaras dengan dengan kebijakan yang ditempuhnya. Sebagaimana disiarkan secara luas melalu televisi pada acara jumpa pers di istana negara bahwa presiden mengingatkan, berdasarkan Konstitusi, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Siapa pun yang terlibat melakukan kejahatan harus dihukum.


Namun sebaliknya presiden menyatakan pandangannya bahwa insiden upaya penangkapan Novel oleh polisi sebagai tidak tepat baik dari waktu maupun caranya. Berdasarkan ‘arahan’ presiden tersebut, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menunda proses hukum Kompol Novel Baswedan karena dipandang tak tepat. Karena terkait dengan posisi jabatan Novel sebagai penyidik di KPK.


Pertanyaannya bagaimanakah logika hukum menjadi dasar bertindak berdasarkan prinsip kesetaraan didepan hukum. Kapankah waktu yang tepat untuk melaksanakan prinsip kesetaraan didepan hukum. Apabila logika seperti ini diterapkan maka berarti jabatan seseorang dapat menjadi pengecualian dari prinsip equal before the law.


Jika seandainya sekali lagi seandainya , SBY terduga terlibat dalam skandal mega korupsi bail out bank century. Dengan logika beliau seperti itu maka langkah pro justicia menjadi tidak tepat waktunya karena beliau masih pada posisi jabatan presiden. Dengan demikian adalah wajar jika pengusutan kasus bail out bank century melambat oleh KPK.


Kapankah waktu yang tepat melaksanakan tindakan pro justicia dengan prinsip kesetaraan didepan hukum. Apakah harus menunggu seseorang tidak lagi memegang jabatannya. Kapankah waktu yang tepat melaksanakan tindakan pro justicia seandainya sekali lagi seandainya saya terlibat tindak pidana korupsi penyalah gunaan wewenang pada kasus bail out bank century, apakah harus menunggu saya tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden.


Posisi Strategis Novel.


Akan tetapi apabila kita tarik kebelakang maka kita akan memahami posisi Novel sangat strategis dalam penyidikan berbagai kasus M. Nazaruddin. Artinya apabila kita bicara prestasi Novel maka tertangkap dan terungkapnya kasus Wisma Atlet adalah bukti konkrit prestasinya tersebut. M. Nazaruddin yang dalam borunnya memegang kotak Pandora, setelah tertangkap di Cartagena kotak Pandoranya pindah tangan ke penyidik KPK. Prasangka muncul mengapa penyidik KPK berkutat mengarahkan penyidikan dan kemudian penuntutan di pengadilan terhadap M. Nazaruddin dengan tuduhan sebagai penerima suap.


Sebab sebagaimana umum diketahui dari berbagai pernyataan terbuka MN sangat jelas bahwa dia adalah pemberi suap oknum anggota DPR termasuk diantaranya adalah AU, AS, dan lainnya yang dikenali sebagai petinggi Parta Demokrat. Sebab jika M. Nazarudin didakwa sebagai pemberi suap maka secara berantai arah penyidikan harus mengusut tuntas siapa saja penerima suapnya. Artinya rantai persekongkolan ini menjadi panjang.


Jadi dengan menempatkan MN sebagai penerima suap hanya membutuhkan satu pemberi suap yaitu Mindo Rosalinda Manulang, artinya mata rantai terputus - pendek, kasus Wisma Atlet hanya sampai MN dan MRM saja. Kedepan kita akan tahu apakah dalam kaitan ini AS akan didakwa sebagai penerima suap atau sebaliknya sebagai pemberi suap oknum anggota DPR.


Jika AS didakwa sebagai penerima suap dari NM tentu tidak “mecing” dengan putusan pengadilan terhadap NM. Sebaliknya jika AS didakwa sebagai pemberi suap konsekuensinya adalag harus ada siapa saja penerima suap tersebut. Jadi dapat dipahami mengapa begitu sulit dan lambannya KPK mendapatkan alat bukti untuk menyelesaikan kasus Wisma Atlet ini. Dan “logis” jika kemudian proses hukum terhadap Novel harus dibantarkan meski mengabaikan prinsip kesetaraan didepan hukum, equal before the law.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline