Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Islam Indonesia: Dialektika, Resepsi, dan Negosiasi

Diperbarui: 29 Maret 2019   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Suatu saat ketika saya berjalan di suatu kampung di wilayah pesisir Jawa Timur, hampir setiap orang yang saya temui selalu menyapa atau minimal melemparkan senyum tanpa terpaksa.

Di salah satu tempat pelelangan ikan di Dusun Karanji, Paciran, Lamongan, saya berhenti sejenak memperhatikan beberapa orang yang bersemangat menimbang hasil tangkapan ikannya dan menghitung uang hasil dari keuntungan menjualnya. 

Sambil bekerja, tampak ungkapan-ungkapan mereka yang mungkin agak mencengangkan: mereka bercerita tentang makam Sunan Drajat yang harus dikunjungi atau menggelar slametan atas setiap hasil yang mereka peroleh sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. 

Keterikatan mereka terhadap warisan budaya atau tradisi, seolah tak pudar ditengah gempuran arus reformisme Islam yang sedemikian hebat menangkal tradisi-tradisi lokal.

Beberapa waktu yang lalu, saya berada di Mekah dan melakukan hal yang sama, berjalan menyusuri jalanan kota yang penuh dengan kendaraan yang dibuat oleh pabrikan asal Jepang maupun Korea. Hampir tak ada kata sapaan atau kekadar senyuman, kecuali para pedagang atau supir taksi yang tiba-tiba berhenti menawarkan jasa bisnisnya. 

Negeri yang dikenal sebagai "poros" Islam ini -karena memang Islam lahir di Arab- ternyata memberikan kesan yang sama sekali berbeda dengan banyak ceritera-ceritera yang saya baca dari berbagai riwayat Nabi Muhammad. 

Ada suatu pergeseran budaya yang cukup jauh, bahkan seolah menjauhi porosnya sendiri, yang mana Islam yang digambarkan sedemikian ramah, ternyata tidak selalu berasal dari negeri yang disebut sebagai pusat sebarannya.

Cerita di atas, mungkin saja tak ada yang luar biasa, kecuali ketika kita membaca ulang karya-karya sejarawan Belanda yang memotret Islam di Indonesia secara lebih jujur. G.W.J. Drewes, dalam salah satu artikelnya, "Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme" yang terbit pada 1955 seolah menyuguhkan hal yang kurang lebih sama. 

Kesan pertama yang ia tuliskan bahwa kedudukan Islam di dalam masyarakat Indonesia kelihatan sederhana, bahkan hampir-hampir tak ada ciri yang menonjol, kecuali kesederhanaannya itu. Siapa saja yang telah mengenal Islam seperti di Afrika Utara atau Timur Tengah, kemudian mengunjungi Indonesia, selalu hampir tidak akan pernah percaya, bahwa ia betul-betul sedang berada di suatu negeri Islam.

Drewes melanjutkan, bahwa tidak hanya para pengunjung yang sekadar lewat ke negeri ini, bahkan para penduduknya yang sudah lama tinggal di Nusantara ini akan lebih banyak berceritera tentang Borobudur dan Candi-candi Hindu-Jawa, tentang tarian-tarian, dan pementasan-pementasan kesenian, atau bahkan tradisi-tradisi lokal lainnya yang hampir sama sekali tidak menyentuh aspek-aspek keislaman sebagaimana yang dibayangkan ketika di Timur Tengah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline