Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Islam Indonesia: Dialektika, Resepsi, dan Negosiasi

28 Maret 2019   15:55 Diperbarui: 29 Maret 2019   04:33 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Menariknya, belum tentu mereka mengetahui detil suatu masjid di wilayahnya yang seringkali menjadi bangunan-bangunan yang kurang perhatian, bahkan mungkin masih banyak langgar-langgar kecil yang tidak memiliki perabotan apapun didalamnya. Mungkin di daerah-daerah terpencil, negeri yang dianggap sebagai "daar al-islam" ini tak nampak sedikitpun secara lahiriyah replika peradaban Islam yang saat itu sedang mengalami kejayaan gemilang.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa sesungguhnya, sekalipun Islam Indonesia tak terdampak langsung penetrasi peradaban dunia Islam, namun Islam amat dalam menguasai batin manusia Indonesia.

Laporan dari seorang Indonesianis dan Islamis kenamaan, Snouck Hurgronye, ketika menulis disertasinya mengenai Haji Indonesia, menulis bahwa kemenangan yang dicapai Islam di daerah-daerah Indonesia, setaraf dengan kejayaan agama ini secara keseluruhan di abad-abad sebelumnya. 

Kejayaan Turki Utsmani yang melesat melewati batas ekspektasinya sebagai penguasa dunia Islam di Timur Tengah, ternyata seiring dengan peradaban Islam yang terbentuk di seluruh kepulauan Nusantara.

Suatu kejayaan atas Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tak lalu diartikan secara sempit bahwa Islam benar-benar tegak sesuai dengan realitas masa awalnya, di mana Nabi Muhammad dan para pengikut setianya masih hidup. 

Hampir dipastikan, bahwa kejayaan Islam di mana pun tak pernah secara sempurna berhasil mengikis habis ide-ide pra-Islam sampai ke akar-akarnya. Malah sebaliknya, di mana-mana ada sesuatu yang lama yang tetap tinggal bahkan abadi dan di sisi lainnya, ide-ide bahkan lembaga pra-Islam itu masih dapat dilihat dan hidup (survive) dalam suatu komunitas masyarakat tertentu yang sudah "muslim".

Wajah Islam Indonesia yang ditunjukkan oleh realitas masa lalunya, bahkan hingga kini sulit untuk tidak dilepaskan dari suatu dialektika budaya yang terus menerus dan menghasilkan suatu peradaban hakiki yang paripurna. Kesatuan religius dalam alam pikiran orang-orang Indonesia dengan berbagai warisan tradisinya meresap terlebih dahulu bahkan jauh melampaui nilai-nilai ideologinya sendiri. 

Hal inilah barangkali yang menjadi perhatian Marshall G Hudgson dalam studinya tentang peradaban Islam, yang mana secara cermat ia menulis bahwa kesatuan ini telah membawa serta banyak, meskipun tidak semua, segi-segi kebudayaan yang dalam beberapa konteksnya mungkin tidak dipandang "religius".

Hurgronye bahkan berhenti pada suatu kesimpulan, dimana kesatuan religius yang telah hidup dalam masyarakat muslim Indonesia pada akhirnya lebih menekankan aspek berpikir dibandingkan bertindak. 

Kenyataan ini telah membawa dampak langsung, dimana resepsi Islam atas nilai-nilai tradisi lokal ditengah masyarakat telah mengalami adaptasi melalui aktivitas berpikir dengan mengedepankan "rasa" ketika mewujudkan tindakan Islam-nya. 

Hal ini jelas berbeda dengan beberapa anggapan, bahwa Islam Indonesia lebih diwarnai oleh praktik-praktik (ritual) yang dipandang tidak mencerminkan "religiusitas" ketika praktik tradisi lokal dianggap "menyimpang" bahkan bukan berasal dari tindakan murni "Islam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun