Lihat ke Halaman Asli

syafruddin muhtamar

Esai dan Puisi

Sejarah Bulan Sabit

Diperbarui: 28 Maret 2022   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar: Detikcom

SEJARAH BULAN SABIT

Kunyanyikan sejarah beraroma kembang bulan sabit di puncak oase berpermadani padang pasir. Di sana, disetiap gumpal dan lipatan-lipatan pasir tercium jejak-jejak Mustafa yang mengenggam matahari di tangan kanannya dan  rembulan di tangan kirinya, merangkul dan mendekap cinta dalam lapang jiwa, tetes-tetes cintanya menoreh sejarah hidup. Cermin kehidupan setiap jiwa, sebab setiap peristiwanya disusun dari labirin kesucian.

Kunyanyikan sejarah tentang keperkasaan peradaban, tiang-tiang penyanggahnya disulam keringat pengabdian hambah pada Yang Esa. Panggungnya dipatri semangat agung  Kebenaran dan dinding-dinding bangunanya dipoles keteguhan jiwa kaum beriman. Burung-burung hinggap di altar suci memberi kabar seluruh penjuru mata angin, memasuki pori-pori setiap zaman. Jibril dengan keagungannya merentang sayap-sayap lembut keseluruh jasirah peradaban itu, menemui sang utusan suci untuk kabar keselamatan. Matahari menutupi wajahnya dengan segumpal awan, membiarkan rumput-rumput hijau musim semi menikmati takzimnya, mengantar kepergian Jibril selesai membidani sebuah kelahiran. Peradaban pertama dan terakhir dikunjunginya untuk suatu masa tak terbatas.

Kunyanyikan sejarah negeri-negeri dentingan gesengan biji-biji tasbih, tanda penaklukan diri, mengalir bak gelombang pasang diterjang angin pada senja menjelang syahdu malam menghampiri. Bukan negeri-negeri dengan dentingan besi baja pedang para penakluk menyala bagai api di onggok kayu kering jiwa pada malam penuh keserakahan dan kebuasan, menaklukkan negeri-negeri lain atas nama tuhan dan melukis wajah kebenaran dengan tetes-tetes darah yang tersisa dimata ujung pedang yang diasah nafsu kuasa. Tidak, aku tidak menyanyikan sejarah beraroma amis darah kemunafikan, melantunkan puisi-puisi Muhammad sembari dengan bersuka ria membagi-bagikan harta rampasan dari negeri taklukan, melagukan bait-bait syair Mustafa sembari terus melanggengkan dan memperluas kekuasaan duniawi. Tidak, aku tidak menyanyi negeri padang pasir tanpa gua hira dan kedatangan kembali Sang Nabi agung dengan seluruh bala tentara ke Mekkah setelah pengusirannya. Aku menyanyi dentingan syahdu nafsu yang bercampur gemuruh keperkasaan padang pasir, diikat pekat sunyi malam ketika tuhan menyapa hamba-hambanya yang tersedu isak tangisnya setelah menaklukkan diri sendiri.

Desah kekalahan dihadapan Berdaulat, diiringi irama hening menyayat jiwa dan senandung gumaman suci menyebut kemahabesaran di atas permadani padang pasir terdiam garang ditengah sebuah musim, serentak, seperti suara orkestra melata pada malam tua pekat membangun nada suci tunggal. Ketika matahari terbangun dari lelapnya, nada itu melahirkan badai padang pasir yang mengamuk sebagai pesta panjang di siang hari saat perkembangan-perkembangan suci mulai dibangun dalam sejarah. Ketika kebenaran dalam pangkuan peradaban sebagai bayi yang dibaringkan, didekap jiwa setiap insan, harum tubuhnya beraroma bulan sabit, tercium hingga kini lewat kepak-kepak sayap burung bersenandung lirih menyampaikan kabarnya. Dan kita hanyut dalam arus nostalgia tanpa ujung. Inilah nyanyian negeri bulan sabit yang telah buram dalam sketsa zaman.

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline