Lihat ke Halaman Asli

Syaefunnur Maszah

Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Tragedi Kelaparan Gaza: Mengapa Tak Kunjung Usai?

Diperbarui: 25 Juli 2025   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak dan perempuan Palestina ikut berebut makanan di Gaza. (Sumber: The New York Times)

Setelah 21 bulan konflik yang menghancurkan antara Israel dan Hamas, krisis kemanusiaan di Gaza telah mencapai titik nadir. Warga sipil paling rentan --- anak-anak, lansia, dan orang sakit --- kini menghadapi kelaparan yang kian memburuk. Rumah-rumah sakit kolaps, dapur umum kehabisan bahan makanan, dan distribusi bantuan dibayangi ancaman kekerasan. Dunia menyaksikan, namun belum bertindak cukup. Di tengah derita yang makin meluas, pertanyaan utama yang mengemuka adalah: Mengapa tragedi ini belum juga teratasi?

Krisis ini bukan sekadar konsekuensi dari perang bersenjata, tetapi akibat dari kegagalan kolektif komunitas internasional untuk melindungi warga sipil sebagaimana dijamin dalam hukum humaniter internasional. Laporan terbaru The New York Times berjudul Gazans Are Dying of Starvation oleh Rawan Sheikh Ahmad, Isabel Kershner, dan Abu Bakr Bashir, dengan visual dari Saher Alghorra, yang diperbarui pada 25 Juli 2025, mengungkap potret memilukan: seorang remaja bernama Atef Abu Khater, yang sebelumnya sehat, kini dirawat di ICU karena malnutrisi parah. Ayahnya hanya bisa menangis karena tak mampu membeli makanan. "Kami kehilangan segalanya," katanya pilu.

Kelaparan seperti ini bukanlah bencana alam yang tak terhindarkan, melainkan bencana yang sepenuhnya buatan manusia. Penolakan terhadap bantuan, pembatasan masuknya makanan dan obat-obatan, serta kegagalan untuk menjamin koridor kemanusiaan adalah kejahatan terhadap martabat manusia. Dalam kerangka hukum internasional, ini bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa.

Sikap keras kepala pemerintah Israel dalam mengontrol secara ketat akses bantuan ke Gaza, termasuk serangan terhadap warga yang mengantre bantuan makanan, telah memperpanjang penderitaan sipil secara sistematis. Penolakan terhadap desakan internasional untuk membuka koridor kemanusiaan mencerminkan pengabaian terang-terangan terhadap hukum internasional. Karena itu, sanksi keras dan isolasi diplomatik terhadap Israel sangat mendesak. Amerika Serikat --- sebagai sekutu utama --- juga harus bersikap tegas dan tidak ambigu. Jika Washington terus bermain aman dan hanya mengeluarkan pernyataan simbolik, maka kelaparan ini akan terus berulang tanpa ada jalan keluar yang adil.

Dalam artikel tersebut, dilaporkan pula bahwa rumah sakit tak mampu lagi menangani lonjakan korban, bukan hanya karena luka perang, tetapi juga akibat penembakan terhadap kerumunan yang berebut bantuan makanan. Ini menambah luka kolektif rakyat Gaza yang telah bertahan di bawah blokade selama bertahun-tahun. Laporan tersebut menggarisbawahi bagaimana sistem distribusi bantuan runtuh karena kekacauan dan ancaman kekerasan dari semua arah.

Ahli hubungan internasional dari Universitas Oxford, Dr. Hugo Slim, dalam bukunya Humanitarian Ethics: A Guide to the Morality of Aid in War and Disaster, menegaskan bahwa dalam kondisi konflik, masyarakat internasional tetap memiliki kewajiban moral dan legal untuk melindungi warga sipil. Ketika negara-negara gagal bertindak, pertanggungjawaban berpindah kepada organisasi internasional dan koalisi masyarakat sipil untuk memaksa hadirnya tindakan konkret.

Teori "Tanggung Jawab untuk Melindungi" (Responsibility to Protect/R2P) yang diadopsi dalam KTT PBB 2005 menegaskan bahwa jika sebuah negara gagal melindungi warganya dari kejahatan kemanusiaan seperti genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka komunitas internasional memiliki hak --- bahkan kewajiban --- untuk campur tangan, termasuk melalui sanksi, diplomasi, hingga intervensi terbatas yang sah. Kelaparan yang disengaja sebagai senjata perang termasuk dalam kategori ini.

Namun, penerapan prinsip ini menghadapi rintangan politik besar. Dewan Keamanan PBB terpecah. Negara-negara besar saling berseberangan karena kepentingan geopolitik, bukan karena pertimbangan moral. Akibatnya, Gaza menjadi panggung di mana etika global lumpuh, dan hukum internasional diperlakukan sebagai retorika kosong.

Situasi ini memperkuat urgensi penegakan hukum internasional yang adil dan tak tebang pilih. Komisi HAM PBB dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) harus didorong untuk memulai penyelidikan aktif terhadap kemungkinan penggunaan kelaparan sebagai alat perang. Sanksi terhadap aktor-aktor yang menghalangi bantuan kemanusiaan perlu diberlakukan segera. Dunia tidak bisa membiarkan tragedi ini terus berlangsung tanpa konsekuensi.

Selain tekanan diplomatik, dunia Arab dan negara-negara donor Barat harus memperkuat jaringan dapur umum dan jalur bantuan langsung ke warga Gaza. Teknologi pelacakan dan distribusi seperti yang digunakan oleh World Food Programme dapat menjadi alat mitigasi yang efektif jika tidak dihalangi. Akses kemanusiaan harus dijamin oleh semua pihak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline