Kekuasaan sering melenakan, apalagi jika kekuasaan itu mulai terakumulasi hingga seakan kebal dari pengawasan. Adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely akhirnya menjadi semacam aksioma dalam kehidupan politik manusia. Padahal, sejarah dunia menunjukkan bahkan kekuasaan yang tadinya seakan tanpa tanding ternyata bisa juga terjungkal menggelinding alias runtuh berkeping-keping.
Salah satu contoh adalah kejadian krisis politik di Filipina pada 1986 yang terkenal dengan peristiwa People Power untuk merujuk gerakan perlawanan rakyat yang berhasil menggulingkan kekuasaan korup, yaitu pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986). Marcos tadinya merupakan pemimpin populis yang agenda perebut simpati rakyat pemilihnya adalah berupa janji menelanjangi kekuasaan ekonomi dan politik kelas tuan tanah. Dia juga berkeinginan membentuk sebuah Filipina yang terdiri dari kelompok sosial menengah profesional. Akan tetapi, Marcos ternyata gagal memenuhi janji penataan pola pemilikan tanah dan justru mengalihkan sebagian besar konsentrasi pemilikan tanah ke tangan keluarga dan teman-teman dekatnya. Dia juga didukung oleh kekuatan militer yang sempat solid di bawah komando Jenderal Ver.
Namun, kekuasaan yang besar itu akhirnya kolaps juga. Mengapa demikian ? B. Herry Priyono dalam People Power Filipina (Penerbit Kompas, 2022) menjelaskan ada empat faktor utama yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan besar Marcos di Manila pada 1986. Pertama, akumulasi ketidakpuasan yang membentuk kemarahan luas warga biasa dalam bentuk gelombang protes para buruh, petani, warga miskin kota, para profesional kita, dan lain. Mereka menentang teror rezim Marcos yang dilakukan terhadap rakyat seperti penyiksaan, manipulasi peradilan, kegagalan manajemen ekonomi, dan lain sebagainya. Ini terutama terjadi sejak 1983.
Kedua, retak dan pecahnya birokrasi negara. Sejak peristiwa pembunuhan tokoh oposisi muda yang kuat, Benigno Aquino Jr pada 1983, birokrasi pemerintah Filipina mulai retak dan berkembang menjadi kelumpuhan. Sebab, semakin banyak pegawai menengah dalam birokrasi Marcos yang melakukan mogok kerja.
Ketiga, para investor dan kalangan bisnis menarik dukungan mereka dari rezim. Mereka merasa bisnis yang berbasiskan kedekatan dengan aparat negara adalah bisnis tanpa kepastian hukum yang hanya merugikan kemajuan bisnis itu sendiri di jangka panjang. Hal ini tentu memotong kekuasaan politik rezim Marcos dari basis materialnya. Keempat, retak dan pecahnya militer. Karena pilih kasihnya Marcos terhadap personel militer yang tidak loyal sehingga mengabaikan kesejahteraan mereka, timbullah perpecahan dalam militer antara militer pendukung Marcos di bawah pimpinan Jenderal Ver dan para personel militer di sekitar Honasan. Hal ini kemudian menggerogoti basis koersif kekuasaan Marcos.
Dua faktor lain
Akan tetapi, kita sebenarnya perlu melihat mengapa tetap butuh waktu cukup lama untuk berhasilnya People Power di Filipina? Empat faktor di atas tampaknya belum memadai, sehingga membutuhkan dua faktor lain. Jawaban tentang dua faktor itu bisa ditemukan dalam buku Krisis Filipina (editor John Bresnan, Gramedia, 1988). Dari buku itu kita bisa dapatkan faktor kelima dan keenam.
Kelima, peranan gereja Katolik. Hirarki Gereja Katolik yang terdiri dari uskup-uskup dengan pandangan konservatif, moderat, dan liberal, terutama diamplifikasi oleh Kardinal Jaime Sin yang secara bertahap meluaskan kecamannya hingga terarah pada tindakan dan kebijakan rezim Marcos, terutama tentang kurangnya perhatian terhadap kaum miskin dan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi dan militer. Setelah pembunuhan Aquino pada 1983, Kardinal Sin menjadi terang-terangan mendesak Marcos untuk mengundurkan diri dan menuntut agar demokrasi dipulihkan di Filipina. Agama Katolik sebagai agama mayoritas di Filipina dan mengenal kepemimpinan moral yang dipelopori Kardinal Sin kemudian menjadi kekuatan moralitas politik besar yang membakar semangat rakyat.
Keenam, akumulasi blunder dari penguasa, dalam hal ini Marcos. Faktor keenam ini sejalan dengan temuan disertasi Denny JA, Revolution from Below (Sinar Harapan, 2006) ketika menganalisa proses terjadinya reformasi 1998 di Indonesia. Di Filipina, akumulasi blunder penguasa itu sudah terjadi sejak 1972 ketika pemerintah Marcos memberlakukan Undang-Undang Darurat 1972 yang membuat para pemimpin pihak oposisi dipenjarakan dan mendapati harta mereka disita. Artinya, pemerintah mulai otoriter.
Kemudian, pemerintah terlalu menggebu-gebu membiayai berbagai proyek mercusuar ekonomi, yang diperparah dengan ambruknya perusahaan-perusahaan besar kepunyaan sejumlah pemilik modal yang dekat dengan pihak penguasa dan kemudian diselamatkan oleh pemerintah. Dengan kata lain, ekonomi Filipina berantakan alias morat-marit.