Lihat ke Halaman Asli

Susanti Hara

Seorang pendidik yang suka berkreasi

Sekoper Inspirasi dari Sosok Petualang Bertangan Dingin

Diperbarui: 29 Mei 2018   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menafakuri keindahan pantai konservasi penyu - Dok. Susanti Hara

Saya adalah seorang cucu yang sangat beruntung memiliki seorang kakek yang  begitu dekat. Semasa kecil, ketika libur sekolah, Mamah pasti mengajak berlibur ke Sidomoro, tempat nenek dan kakek tinggal. Kakek sering mengajak bepergian, bertani atau berkebun, bercerita, dan aktivitas lainnya yang mungkin jarang sekali cucu manapun nikmati.

Suatu waktu ketika saya mulai duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, kakek pernah bercerita tentang keajaiban segenggam kacang hijau yang dilemparkan ke tengah pantai, kemudian kacang hijau itu berubah menjadi ratusan tentara gagah berani yang membantu para pejuang Indonesia melawan penjajah. 

Absurd, bukan? 

Bukan hanya itu, kakek juga pernah bercerita tentang keunikan Pantai Petanahan. Katanya, saat pantai surut maka akan terlihat bangunan megah nan indah di tengah pantai.

Sungguh tak masuk akal, bukan? Bagaimana suatu bangunan ada di tengah pantai? 

Meski tak masuk akal, secara tidak langsung, sedari kecil, kakek menginspirasi  saya untuk lebih dekat mengenal pantai sebagai ciptaanNya. Pantai memiliki kehidupan sangat luas layaknya kehidupan manusia. Pantai bukan hanya sekedar ciptaanNya  yang memesona dengan keindahan. Tapi pantai telah diciptakan sebagai tempat kehidupan bagi makhluk laut, serta sumber mata pencaharian para nelayan dan juga para pengrajin yang memanfaatkan kerang, koral, atau bebatuan lain yang kadang terdampar di lidah pantai.

Saat tak percaya dengan cerita kakek di masa lalu, saya sering bertanya kepada nenek atau saudara terdekat kakek dan nenek. Jawaban mereka sama, semasa muda kakek memang seorang petualang, mengembara ke mana-mana untuk waktu yang cukup lama dan pulang dengan segudang cerita. Namun, setelah menikah, kakek mengurangi aktivitas petualangannya dan lebih banyak bercocok tanam seperti petani di Dusun Sidomoro pada umumnya.

Ya, kakek bukan hanya bercerita mengenai dunia masa lalu yang sungguh tak masuk akal, atau mungkin akal saya yang belum bisa masuk ke dunianya, entahlah, namun semasa hidupnya, di setiap liburan sekolah, kakek pasti mengajak saya ke sawah pada pagi hari dan sore hari. 

Memiliki pengalaman bersama beliau yang cukup singkat, tentu saja tidak bisa semua dapat dinikmati. Terkadang, ketika pulang dari Bandung, tempat perantauan kedua orangtua, begitu sampai di Dusun Sidomoro, kakek selalu langsung mengajak ke kebun. Tampaknya, kakek tahu betul kalau cucunya sangat menyukai alam dan keunikannya.

Mungkin, saya tak pernah bisa melihat proses kakek bertani atau bercocok tanam dari awal mulai dari biji atau benih, semuanya terkadang sudah tahu-tahu ada, seperti: sawah dipenuhi padi menguning, pada kesempatan libur lainnya tanaman di tempat itu sudah berganti lagi. Saya pernah melihat langsung kacang tanah, kacang kedelai, atau tanaman timun suri dan tumbuhan lain yang ditanam kakek tumbuh dengan subur.

Kisah kecil yang tampaknya sepele. Namun, kebersamaan dengan sang kakek, jika diibaratkan dalam kehidupan sekarang, saya seperti memiliki sekoper inspirasi yang begitu mudah untuk dibawa pergi ke mana pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline