Lihat ke Halaman Asli

Suriadi Dhafa3

statistisi

Perbedaan Data Kemiskinan BPS dan Bank Dunia: Perspektif yang Beda, Bukan Data yang Salah

Diperbarui: 4 Mei 2025   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, publik kembali dihebohkan oleh perbedaan mencolok antara data kemiskinan Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia menyebut bahwa sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia sekitar 171,8 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan global. Sementara itu, menurut BPS, per September 2024, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta orang. Perbedaan yang begitu tajam ini menimbulkan kebingungan. Banyak yang bertanya-tanya, apakah data pemerintah terlalu optimistis? Atau justru standar Bank Dunia terlalu ketat? Namun, jawabannya sebenarnya tidak sesederhana itu. Perbedaan ini bukan disebabkan oleh kesalahan atau manipulasi data, melainkan karena perbedaan tujuan dan metode pengukuran antara kedua lembaga tersebut.

Bank Dunia menggunakan pendekatan global dalam menentukan siapa yang tergolong miskin. Garis kemiskinan yang digunakan adalah sebesar USD 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Angka ini merupakan rata-rata dari negara-negara yang tergolong dalam kelompok berpendapatan menengah atas UMIC (upper-middle income countries), yang juga mencakup Indonesia. Dengan nilai tukar PPP tahun 2024, USD 6,85 setara sekitar Rp 41 ribu per hari. Jadi, jika seseorang menghabiskan kurang dari jumlah itu per hari, ia dianggap miskin secara global. Namun, standar ini tidak didasarkan pada kondisi atau kebutuhan masyarakat Indonesia secara spesifik. Tujuan utama Bank Dunia adalah menciptakan alat pembanding yang seragam antarnegara bukan untuk digunakan dalam pengambilan kebijakan lokal. Karena itu, ketika garis kemiskinan global tersebut diterapkan ke Indonesia, hasilnya memang tampak "mengerikan". Banyak warga yang tidak tergolong miskin secara lokal akhirnya tetap tercatat sebagai "miskin" jika dilihat dari kacamata global.

Sebaliknya, BPS menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Metode ini disebut Cost of Basic Needs (CBN), yang menghitung jumlah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, baik makanan maupun non-makanan. Untuk makanan, standar minimalnya adalah 2.100 kilokalori per orang per hari, dihitung dari konsumsi komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan seperti perumahan, pendidikan, pakaian, transportasi, dan kesehatan. Seluruh perhitungan ini didasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dilakukan BPS dua kali setahun. Pada Maret 2024, survei mencakup sekitar 345.000 rumah tangga, dan pada September 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, karena konsumsi sehari-hari umumnya dilakukan secara kolektif. Oleh karena itu, hasilnya dianggap lebih menggambarkan kondisi riil masyarakat Indonesia.

Pada September 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 19.841 per hari. Namun, karena konsumsi dihitung dalam konteks rumah tangga dan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 orang, maka batas kemiskinan per rumah tangga adalah sekitar Rp 2,8 juta per bulan. Jika dikonversi ke nilai PPP, jumlah ini setara sekitar USD 3,31 PPP per hari, yang masih lebih tinggi dari standar kemiskinan ekstrem global sebesar USD 2,15, tapi jauh di bawah standar USD 6,85 milik Bank Dunia. Dengan kata lain, angka kemiskinan versi BPS mencerminkan garis batas yang lebih sesuai dengan konteks lokal Indonesia, sementara versi Bank Dunia mengedepankan standar global yang seragam untuk keperluan perbandingan antarnegara.

Perbedaan metodologi ini sebetulnya saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Bank Dunia bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional tetap paling relevan untuk keperluan kebijakan domestik dan program penanggulangan kemiskinan. Garis kemiskinan global hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran posisi suatu negara dalam konteks global. Sebagai contoh, garis kemiskinan di Papua Pegunungan mencapai Rp 1.079.160 per kapita per bulan, jauh di atas rata-rata nasional, karena memang biaya hidup di daerah tersebut sangat tinggi. Ini menunjukkan pentingnya pendekatan lokal seperti yang digunakan oleh BPS untuk menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Namun, berada di atas garis kemiskinan pun belum tentu berarti sejahtera. Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tergolong "rentan miskin", yakni mereka yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan dan bisa dengan mudah kembali jatuh miskin jika terjadi krisis seperti kenaikan harga pangan, kehilangan pekerjaan, atau bencana alam. BPS membagi penduduk menjadi lima kategori berdasarkan pengeluaran harian terhadap garis kemiskinan: miskin (di bawah 1 kali GK), rentan miskin (1--1,5 kali GK), transisi ke menengah (1,5--3,5 kali GK), kelas menengah (3,5--17 kali GK), dan kelas atas (di atas 17 kali GK). Per September 2024, hanya 0,46 persen penduduk Indonesia yang masuk kategori kelas atas. Sementara 24,42 persen rentan miskin dan 49,29 persen masih dalam tahap transisi menuju kelas menengah. Artinya, lebih dari sepertiga penduduk masih sangat rentan terhadap kemiskinan.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa angka kemiskinan versi BPS maupun Bank Dunia sama-sama penting dan valid sesuai tujuan masing-masing. Yang satu berguna untuk pengambilan kebijakan dalam negeri, yang lain memberi peringatan bahwa masih banyak warga Indonesia yang belum sejahtera menurut standar global. Maka, yang terpenting bukanlah memperdebatkan angka mana yang "benar", melainkan memastikan semakin banyak orang bisa keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan baik dalam ukuran lokal maupun global.

Sumber : Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia,September 2024, BPS RI 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline