Ini bukan tentang baik atau buruk sebuah profesi, tetapi semata soal pilihan hidup. Dulu para wartawan kawakan menunjukkan banyaknya kemauan dan kemampuan yang dimiliki.
Selain aspek kebahasaan (terutama bahasa asing), juga punya kemampuan akademi, diplomasi, politik, serta minat baca tinggi. Profesi jurnalis saat itu sangat membanggakan. Tak sedikit dari mereka dengan keandalan masing-masing menjadi tokoh bangsa.
Begitu sulitnya orang mencari kerja, kini profesi jurnalis sekadar sebuah pekerjaan, untuk mencari sesuap nasi. Sebutan profesi yang terkait erat dengan aspek keahlian, pendidikan, pelatihan, dan etika yang menyertainya, tak lagi hal utama.
Terlebih bagi jurnalis media online (membuat berita/informasi dan menyebarkannya melalui internet) yang jumlahnya sangat banyak.
Begitu banyak orang bekerja pada bidang ini sehingga persaingan sangat ketat, penghasilan pun ada kadarnya. Tidak mudah untuk mengejar sekadar ukuran UMR. Namun, bagi banyak orang memang tidak ada pilihan lain.
Baca juga: Jebakan ghibah pada profesi jurnalis
Kembali ke jurnalis kawakan masa lalu. Mereka tetap menulis meski di tengah sibuk dan ketatnya jadwal kegiatan penting lain. Dan kelak dari berbagai tulisan itu menjadikan mereka (dalam bahasa agama) 'berumur panjang'.
Orangnya mungkin sudah lama berkalang tanah, tetapi pemikiran - sikap - keteladanan dan berbagai idenya tetap hidup. Bahkan berkembang dalam teori dan praktik jurnalistik dari masa ke masa. Sebut saja beberapa diantaranya Tirto Adhi Soerjo, H. Agus Salim, dan Burhanuddin Muhammad Diah, Hamid Jabbar, Rosihan Anwar, dan Djafar Assegaf.
Kini para jurnalis bisa merangkap pekerjaan yang lain. Sebaliknya profesi apa saja yang lain dapat pula merangkap sebagai jurnalis.
Terlebih untuk media online. Tidak mengherankan setelah jadi mantan, banyak dari mereka tidak lagi menulis. Minat baca surut ketitik terendah.