Lihat ke Halaman Asli

Asril Novian Alifi

Writer | Learning Designer | Education Consultant

Menyimak Dongeng Dahulu, Membaca Buku Kemudian

Diperbarui: 29 Januari 2019   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.littleredhen.in

Kemanapun saya bepergian, sebisa mungkin saya selalu membawa buku di tas saya. Bisa hanya satu buku atau lebih. Saya akan membaca buku tersebut untuk membunuh waktu luang yang sering saya jumpai saat perjalanan. Salah seorang teman pernah bertanya, "Asril, kenapa sih kamu suka sekali baca buku ?"

Ya, kawan saya itu memang sering melihat saya membaca buku ketika di waktu senggang. Ia juga sering menyaksikan saya membeli banyak buku di tiap bulannya. Ah, padahal, kalau dibandingkan dengan penggila buku yang lain, saya masih belum ada apa-apanya. Baik dari jumlah koleksi buku, maupun dari ketekunan membacanya.

"Kalau aku sih, baca buku tebal-tebal yang gak ada gambarnya gitu ya pasti bosan." Lanjut teman saya itu.

"Hmmm.... Ya gak tahu ya. Suka aja." Jawab saya menanggapi pertanyaan kawan saya itu. 

Sebenarnya saya ingin sekali menjawab dengan jawaban seperti tulisan-tulisan yang ada di buku berjudul Bukuku Kakiku (GPU, 2004) atau buku Proses Kreatif (Gramedia, 1982)yang disunting oleh Pamusuk Eneste.

Bukuku Kakiku memuat banyak tulisan tentang pengalaman bersinggungan dengan buku dari para pesohor, mulai dari ilmuwan, budayawan, sastrawan, seniman, tokoh politik, dan sebagainya. Sedangkan buku Proses Kreatif, seperti judulnya, memuat banyak tulisan sastrawan-sastrawan besar Indonesia yang bercerita tentang proses kreatif mereka dalam menghasilkan karya sastra.

Saya menemukan banyak persamaan dari dua buku tersebut. Para pesohor yang ada di Bukuku Kakiku mengaku mengawali kecintaan mereka terhadap buku lantaran orang-orang terdekat mereka, yang juga menggilai buku, sudah mengenalkan pada buku sejak mereka kecil. Begitu pula dalam Proses Kreatif, sebagian besar sastrawan yang ada di buku itu mengatakan bahwa proses kreatifnya diawali dari kecintaan membaca buku sejak kecil. Ada yang dikenalkan buku oleh orang tuanya, kakeknya, tetangga, dan lain sebagainya. Bahkan banyak juga yang di rumahnya sudah ada perpustakaan pribadi di rumah milik orang tua mereka, karena kebetulan orang tua mereka adalah para cendekiawan atau orang-orang yang sangat gandrung terhadap buku.

Sungguh sangat seru menyimak perjumpaan tokoh-tokoh besar dengan buku yang ada pada pada Bukuku Kakiku dan Proses Kreatif. Beberapa ceritanya masih melekat dalam ingatan saya sampai sekarang. Itulah mengapa saya tergoda untuk meniru jawaban tokoh-tokoh tersebut ketika kawan saya bertanya alasan mengapa saya suka membaca buku. Saya selalu ingin menjawab, "Itu karena aku sudah dibiasakan membaca sejak kecil."

Ya, saya memang sudah suka membaca sejak kecil. Tapi, apakah itu karena saya dibiasakan oleh orang tua untuk membaca  --seperti cerita-cerita para pesohor yang ada di dua buku di atas-- sepertinya saya terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Di rumah saya tidak ada perpustakaan pribadi. Keluarga saya juga bukanlah kalangan yang sempat mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Mentok Cuma lulusan SMP dan SMA. Tidak ada buku di rumah selain buku pelajaran sekolah. Jadi, agak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa saya sudah dibiasakan membaca sejak kecil. Ah, saya pun jadi penasaran sendiri, kenapa dari kecil saya sudah suka membaca. Saya pun tergoda untuk menguliknya.

Beberapa waktu lalu saya tuntas membaca buku buku Agar Anak Anda Tertular Virus Membaca, karangan Paul Jennings (Penerbit MLC, 2006). Dalam buku tersebut disampaikan bahwa salah satu yang bisa menstimulus anak-anak kita agar gila membaca adalah dengan sesering mungkin membacakan buku cerita atau mendongeng untuk anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline