Lihat ke Halaman Asli

Udin Suchaini

#BelajarDariDesa

Korban Salah Bakat

Diperbarui: 9 September 2022   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Rumah saya bukan rumah biasa, karena upaya saya memperbaiki dengan membongkar sana sini justru menambah masalah yang sebenarnya tak perlu terjadi. Jelas bukan keahlian saya menata material bangunan, dan tentu saja saat saya paksakan menghasilkan penampilan yang menggelikan. 

Rumah telah saya jadikan tempat untuk membuktikan kemampuan di hadapan istri, bahwa saya merasa mampu memperbaiki tanpa perlu memanggil ahli. Karena merasa inilah yang membuat istri ragu-ragu. Istri saya pernah mengingatkan untuk memanggil tukang, dibanding renovasi rumah yang saya lakukan sendiri. Pernah saya pasang sendiri keramik dapur yang berakhir pada genangan air di sana sini, karena kemiringannya tidak presisi. Pernah pula saya coba mengganti talang supaya air langsung mengalir ke tempat semestinya, ujungnya justru menjadi jalan tikus masuk ke ruangan. Sedih memang, karena ongkos yang harus saya keluarkan semakin berlipat saat melihat rumah  menjadi korban salah bakat. 

Rumah saya semakin salah konsep, saat saya coba tata ulang. Karena renovasi cukup banyak, saya mengikuti permintaan istri untuk memanggil tukang, namun karena saya mengkonsep sendiri, semakin membuat rumah tidak beraturan. Ini terlihat setelah selesai saya dak kamar belakang, membuka ruang baru untuk  jemuran, justru menjadi tempat penuh genangan. Tak selesai sampai disini, tangga yang lebar dibangun di dapur, justru membuat sempit saat tangga menghabiskan sepertiga ruang. Padahal ruang yang seharusnya dimiliki istri untuk eksplorasi masakan dan tempat menata perabotan, menjadi kurang nyaman untuk memasak masakan. Saya pun dipaksa mengakui, bahwa konsep ini menyisakan banyak pekerjaan lain yang tidak tuntas. 

Meski sudah jelas menjadi masalah, egoisme saya sebagai kepala keluarga ternyata bertahan. Saya semakin penasaran dengan kemampuan pertukangan, karena merasa mampu membedah rumah dengan tangan sendiri. Saya perbaiki keramik kamar mandi sendiri, dan hasilnya sukses besar. Dari pengalaman sebelumnya, air mengalir tepat sasaran tanpa genangan. Seakan-akan saya merasa menjadi ahli konstruksi yang paham dengan masalah persemenan. 

Melanjutkan Peruntungan

Saya tidak ingin menghentikan kesuksesan saya dengan mengganti keramik saja. Saya pun mencoba peruntungan lain, berhitung dengan istri untuk memasang kanopi. Jika menggunakan tukang, ongkos yang cukup besar perlu kami keluarkan. Namun, jika saya membuatnya sendiri hanya perlu sepertiganya. Sehingga, kami pun untung karena masih menyisakan peralatan pertukangan yang bisa saya gunakan berulang kali. 

Benar saja, kanopi telah saya bangun dengan gagahnya, dan tidak terlihat seperti kanopi biasa. Saking gagahnya, banyak palang sana sini untuk memperkuat kedudukannya. Sayangnya, palang ini sekarang justru menjadi tempat berbagai barang sekaligus mempermudah tikus lalu lalang. Bahkan, membuat kucing-kucing kampung merasa nyaman. Dampaknya, membuat kanopi seakan tak beraturan. Lebih tak biasa lagi, saya membutuhkan waktu sepuluh kali lipat lebih lama membangun kanopi yang seharusnya selesai dalam tiga hari. Parah memang saat membangun tanpa jiwa seni, ukuran keindahan berubah menjadi kegelian. 

Konsep yang saya hadirkan membuat rumah kami banyak drama. Sebaik apapun menggunakan bahan bangunan, bukan berarti menghasilkan situasi yang mengagumkan. Meski berulang kali istri mengingatkan kalau saya hanya mampu bernarasi lewat kata, bukan orang yang ahli menyusun material bangunan karena hanya akan menghasilkan banyak drama. Padahal, saya mampu menjadi conductor bagi ahli bangunan untuk membangun keindahan, tanpa harus kecewa dengan ekspektasi diri sendiri. Tapi apa jadinya jika saya juga tidak percaya sama tukang? tentu menjadi masalah besar. Saya harus mencari tukang yang satu pemahaman. 

Saya pun mencoba peruntungan lain untuk membuat rumah semakin nyaman. Adalah tidak adil, saat saya meminta tukang ke rumah, maka mereka yang harus menyesuaikan konsep yang saya bangun. Semangat saya ini ternyata menghasilkan masalah baru. Suatu ketika saya memasang pemanas air di kamar mandi, hasil pencarian informasi dari google, yahoo!, hingga Bing. Hasilnya, membuat saya seakan-akan ahli. Saat ada tukang ke rumah yang tidak sependapat dengan saya, saya pun mengganti tukang lainnya. Setelah mendapat tukang yang sepemikiran, saya pun mempercayakan pekerjaan itu padanya. Tapi apa yang terjadi? Konsep yang saya tawarkan ternyata menimbulkan masalah yang tak saya pahami. Paralon saluran air lepas di beberapa titik, selang dua hari setelah pemanas dipasang. Besarnya tekanan tak kami perkirakan saat pemasangan dilakukan. 

Selang dua hari pemanas air dipasang, rumah kami pun mencekam, air ngocor sana sini dan tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya sudah di kantor, istri panik, tapi anak saya justru gembira bermain air di dalam rumah karena  banjir lokal. Akhirnya saya hubungi tukang lagi, dan untungnya bisa segera datang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline