Lihat ke Halaman Asli

Toni Ahmad Subekti

Dosen di Universitas Rokania - Riau

Jangan Bercita-cita Jadi Dosen

Diperbarui: 1 April 2024   09:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita melihat beberapa waktu lalu viral tagar jangan jadi dosen di media sosial. Banyak pro dan kontra tentang profesi mulia ini dan banyak sudut pandang untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Namun, saya tidak akan membahas itu lebih jauh. Di sini, saya akan menceritakan tentang pengalaman saya berproses menjadi seorang dosen.

Saya sebetulnya tidak terlalu berambisi menjadi dosen sewaktu sarjana, karena awalnya tidak berpikir tentang kemana arah profesi yang saya akan jalani. Waktu itu kesadaran saya berawal dari salah satu seorang dosen yang juga guru besar di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. 

Waktu itu saya ditanya mau bekerja atau mau melajutkan pendidikan? karena waktu saya tak punya planning akhirnya saya jawab ya prof saya mau kuliah lagi untuk jenjang pasca sarjana. Prof itu bilang bagus, ambil kuliah saja di UGM dan nanti bisa menjadi seorang dosen kalau sudah lulus s2. 

Singkat cerita saya masuk pasca sarjana dan lulus di tahun 2021. Perjalanan saya meniti karir dosen dimulai. Saat itu saya meyakini dengan nama UGM yang besar saya mudah untuk masuk ke perguruan tinggi yang sudah mapan, dan kampus-kampus kecil saya backlist dari daftar kampus tujuannya. Itulah ideologi yang waktu itu saya pegang kuat. Saya lulusan UGM dan harus bekerja di kampus yang besar. 

Perjalanan itupun dimulai, saya mulai mendafarkan diri keberbagai lowongan kampus yang tersedia. Satu demi satu sudah saya masuki berkas persyaratan namun saya tunggu-tunggu tak ada satupun panggilan. 

Hati sudah mulai risau dan gundah. Ditambah lagi waktu itu saya beru menikah dan belum punya pekerjaan tetap. Karena risau, saya putuskan untuk menghubungi banyak kampus di Jogja melalui email dan isinya menyatakan bersedia menjadi dosen disana dan tak lupa saya lengkapi berkas dan riwayat hidup. 

Namun, usaha itu juga sia-sia. Saya cukup frustasi, awalnya saya kira mudah untuk bekerja namun sulit nya luar biasa. belum lagi, banyak lowongan yang mensyaratkan pendidikannya minimal s3 atau sedaang s3. Dan saat itu saya mulai lemas dan setiap hari saya memikirkan bagaimana saya bisa bekerja menjadi dosen.

Selang beberapa bulan, ada pengumuman lulus seleksi berkas dan wawancara dari kampus swasta yang baru mau berdiri. Awalnya saya senang, dan saya sudah mempersiapkan andaikata saya pindah disana. Namun kurangnya pengetahuan saya tentang proses pendirian kampus membuat saya berharap bisa segera untuk bekerja. 

Realitanya setiap kampus baru yang sedang dalam proses pendirian atau penggabungan itu butuh waktu yang sangat lama. Jadi saya sarankan jangan mendaftar menjadi dosen pada kampus tersebut karena kita akan menunggu hingga ada mahasiswanya. Karena prosesnya kan, unggah dokumen, visitasi, penerimaan mahasiswa baru dsb dan itu waktunya kadang kala lama. Ya kalau kampus bisa mendatangkan mahasiswa yang banyak sehingga gaji dan tunjangan bisa di bayarkan secara penuh. 

Ada kalanya kampus baru kesulita untuk mendapatkan mahasiswa atau mendapat mahasiswa namun tidak banyak, maka konsekuensinya adalah bapak/ibu dosen harus siap untuk di potong gajinya. 

Oh ya gaji dosen biasanya mengaju ke golongan 3b sekitar 2.600.000 diluar tunjangan. Itu gaji pokok, kampus negeri atau yang sudah mapan biasanya memberikan banyak tunjangan seperti makan, transportasi, kinerja, dll. Tapi jangan kaget jika nanti hanya gaji pokok yang diterima, intinya sesuai dengan kemampuan kampusnya. Makannya banyak kampus swasta yang tak mampu membayar gaji dosen secara layak, muncullah trending #jangan jadi dosen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline