Lihat ke Halaman Asli

Bento

cara cepat untuk bisa menulis ya menulis

Hari Kehakiman Nasional 2024, Refleksi Sisi Kemanusian Sang "Wakil Tuhan" dalam Sistem Peradilan

Diperbarui: 29 Februari 2024   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 1 Maret 2024 nanti, Bangsa Indonesia akan merayakan peringatan Hari Kehakiman Nasional. Momentum peringatan ini, bukan saja menjadi bahan refleksi atau napas tilas  bagi para Hakim Yang Mulia, tetapi juga momentum bagi kami Masyarakat Sipil untuk mengungkapkan pemikiran tentang kondisi aktual pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Indoenesia.

Belakangan ini, keputusan para hakim kita dalam memutus perkara hukum dalam persidangan, dipertanyakan kredibilitas dan integritasnya.   

Dalam cacatan ku dan mungkin dalam ingatan para pembaca yang budiman, setahun belakangan ini. Terdapat beberapa Putusan kontroversial yang dibuat oleh para Hakim kita. Diantaranya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang  disinyalir sarat akan konflik kepentingan dan beraroma politis. Yang hiruk-pikuknya menghiasi jalannya Pilpres 2024.

Kemudian, Putusan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat pada tanggal 2 Maret 2023 yang memerintahkan KPU menghentikan proses Pemilu 2024. Untuk diketahui, Pengadilan Negeri tidak berwenang menyidangkan sengketa Pemilu. Sontak hal ini, membuat geger publik dan para praktisi Hukum Tata Negara. Sebagai akibatnya, Komisi Yudisial memberikan hukuman etik kepada panel hakim yang terdiri dari T Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban, dengan konsekuensi hakim non palu atau tidak diperbolehkan memutuskan perkara selama 2 tahun.

Selanjutnya, terjadi kasus suap di rumah terakhir pencari kepastian hukum dan keadilan, Makamah Agung, yang menjerat 1 Hakim Agung  dan 3 hakim lainnya menjadi pesakitan di persidangan.

Sungguh ironis. Profesi Hakim dianggap sebagai yang paling istimewa di dunia, sering disebut sebagai 'Wakil Tuhan' atau 'Yang Mulia'. Membuat Keputusan menyakiti hati masyarakat dan negara Indonesia, yang telah menitipkan kekuasaan kehakiman dipundak para Hakim Yang Mulia untuk mewujudkan sistem peradilan Yang Adil dan Bijaksana di Republik ini. 

Bagiku fakta ini, menunjukan bahwa Hakim juga merupakan manusia biasa. Mereka bukanlah entitas Tunggal yang steril. Sebagai manusia, Hakim dipengaruhi oleh asal-usul sosial, pendidikan, gender, psikologi, agama, status sosial, motivasi, pengalaman, dan ideologi keilmuannya.

Sehingga dalam proses pengambilan Keputusan di persidangan Hakim akan menghadapi 'pergulatan kemanusiaan' yang dapat mempengaruhi Keputusan peradilan  Independensi hakim.

Sering terjadi dalam memutus perkara, Hakim diperhadapankan dengan tekanan-tekanan eksternal, seperti tekanan politik dan tekanan publik yang dapat merusak  Independensi Hakim.

Apalagi saat ini, era gencarnya gelombang pemberitaan begitu cepat di berbagai platform media online atau media sosial yang dapat membentuk opini publik terhadap suatu isu. Terbentuknya opini publik dalam masyarakat dapat menyebabkan para hakim kita tertekan oleh tuntutan Publik. 

Tentunya, secara tidak langsung dapat mengurangi kebijaksanaannya dalam menilai suatu perkara dalam persidangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline