Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Generasi Milenial Berinvestasi Rumah, Kenapa Tidak?

Diperbarui: 12 Juli 2019   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi:https://pixabay.com

Rumah adalah kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan bagi setiap orang. Rumah menjadi tempat berlindung dari panas dan hujan, bahkan sebagai tempat bersemainya benih cinta dan kasih sayang bagi para penghuninya. Tempat melepas lelah setelah seharian bekerja mencari nafkah untuk kehidupannya. Bahkan ada pepatah:"rumahku surgaku", artinya rumah menjadi tempat yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan lahir batin, saling menghargai, menghormati, menyayangi, memberi rasa aman, nyaman, senang, yang dapat menumbuhkan inspirasi dan energi positif.

Mewujudkan rumah ideal memerlukan niat dan tekad yang tulus dari para penghuninya. Bentuk  fisik, kualitas bangunan, fasilitas, tidak berbanding lurus dengan rumah ideal. Artinya rumah dengan suasana yang mendamaikan dan menyenangkan itu bisa jadi bentuk fisiknya sederhana,  perabot secukupnya, tidak harus modern, lengkap, dan mewah. Semuanya tergantung dari sikap, sifat, watak, perilaku, etika setiap penghuninya. Orang tua menjadi referensi utama dan pertama untuk mewujudkannya.

Kembali ke pokok persoalan generasi milenial untuk mewujudkan rumah idaman, yang disinyalir tidak sanggup, mengingat harga tanah dan rumah cenderung terus meningkat. Menurut saya tidak semua generasi milenial cenderung "membeli" pengalaman dengan nonton konser, jalan-jalan dan makan minum di restiran fancy. Memang diakui, generasi milenial di awal kerja setelah mendapatkan gaji sendiri (apalagi yang kerja di perusahaan multinasional), lebih memanjakan diri dan mengikuti gaya hidup lingkungan sosialnya. Memiliki "kartu kredit", selain ATM untuk memudahkan transaksi. Namun sering kurang kontrol, sehingga melebihi pendapatannya, yang ujung-ujungnya terjerat hutang dan riba.

Bila sudah begini, orang tua harus campur tangan memberi nasehat dan pandangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Anak-anak milenial yang sudah bekerja masih perlu arahan, pendidikan, bukan paksaan, apalagi dengan gaya otoriter. Bagi anak milenial mengikuti gaya hidup lingkungannya itu memang wajib sepanjang positif. Arahkan sebagian pendapatannya untuk berinvestasi rumah daripada untuk kontrak membayar tiap bulan, lebih baik untuk mengangsur rumah. Walaupun jangka panjang, minimal memberi harapan bila sudah lunas mempunyai hak milik rumah. Pikirannya lebih tenang, tidak harus memikirkan mencari rumah kontrakan baru bila digusur pemiliknya karena harga kontrakan naik tiap tahun.

Anak milenial dapat berinvestasi rumah asal ada arahan, nasehat, dan doa dari orang tua. Resikonya orang tua tetap berkorban minimal membantu uang muka, untuk angsurannya biar dibayar sendiri. Orang tua walaupun mampu tidak membelikan rumah untuk anaknya.  Disini ada pembelajaran "memandirikan" anak supaya tidak tergantung dengan orang tua.

Selain itu supaya anak dapat mengelola keuangan sendiri sesuai pendapatannya. Memang diakui, anak kerepotan mengelola keuangan antara untuk gaya hidup dan investasi. Artinya disaat lingkungan sosialnya dapat menikmati gaya hidup, anak harus "mengerem" keinginannya demi untuk investasi. Tersiksa ?. Awalnya memang demikian, namun seiring berjalannya waktu kondisi berubah drastis.

Anak-anak milinial yang tetap bertahan dengan gaya hidup, hasil kerja kerasnya lenyap begitu saja. Berbeda dengan anak-anak milenial yang sudah berpikir investasi, dapat merasakan kerja kerasnya dengan memiliki rumah, yang harga jualnya terus melambung. Bahkan dapat memiliki apartemen di kawasan pusat perkotaan, sehingga dapat disewakan. Jadi tidak semua anak milenial suka mengikuti gaya hidup dan membeli pengalaman, karena sudah ada yang berpikir tentang investasi. Walau diakui awalnya perlu arahan, doa, dan bantuan uang muka dari orang tua. Apalagi saat ini banyak bank yang mempunyai program menarik sesuai dengan penghasilan dan kebutuhan generasi milenial.

Namun yang perlu diwaspadai adalah investasi "bodong" yang sering menganggu dengan iming-iming menggiurkan. Investasi dapat berlipatganda, mudah dan cepat memperoleh keuntungan. Namun ujungnya "penipuan" terselubung, terkoordinir, berjejaring. Telah banyak korban akibat investasi bodong, sehingga pihak berwajib, bank, OJK untuk mewaspadai para pelaku investasi bodong. Investasi bodong ini sering mengelabuhi dan menggoda generasi milenial menikmati kerja kerasnya. Apalagi terjebak lebih jauh pinjam uang di bank untuk menambah modal yang ternyata investasi bodong. Jadi para generasi milenial berinvestasi pun tetap harus waspada dan perlu perhitungan matang, bukan sekedar mencari untung yang berakhir "buntung", menderita rugi karena terjebak investasi bodong.

Yogyakarta, 12 Juli 2019 Pukul 14.19




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline