Lihat ke Halaman Asli

Srihartati

Mencari ilmu

Wabah Covid-19 Bukan Alasan untuk Mengorbankan HAM dan Demokrasi

Diperbarui: 24 Januari 2021   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkenaan dengan penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan pemantauan terhadap pemenuhan kewajiban negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak asasi manusia, termasuk penghormatan prinsip demokrasi dalam penanganan COVID-19   Kami memahami pandemi sebagai situasi darurat kesehatan yang berdampak pada persoalan ekonomi dan sosial, namun demikian,  pembatasan, atau tindakan dan kebijakan yang diambil harus proporsional, serta tidak mengorbankan hak asasi manusia dan demokrasi yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.

Pada situasi pandemi, kami melihat bahwa penanganan COVID-19 menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada situasi dan kondisi hak asasi manusia. Berdasarkan pemantauan kami, sejumlah langkah yang dilakukan oleh negara, baik dari tataran eksekutif sampai aparatur negara tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pertimbangan yang memadai dalam menyusun kebijakan[1] maupun mengambil langkah penindakan di lapangan.[2] Kami mengkhawatirkan kerentanan menjadikan pandemi COVID-19 sebagai alasan untuk memberangus hak asasi manusia dan mengancam demokrasi.

Kami mencatat sejumlah pelanggaran hak asasi manusia selama pandemi COVID-19 (Januari -- April 2020), antara lain sebagai berikut:

  • Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi

Pada pertengahan bulan Maret 2020, KontraS melakukan pemantauan melalui pembukaan kanal pengaduan publik terkait kualitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 melalui RS rujukan COVID-19. Dalam pemantauan ini, kami menemukan bahwa berbagai RS rujukan COVID-19 memiliki sejumlah permasalahan seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis, kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, dan tidak ada prosedur khusus untuk pasien yang ingin melakukan tes COVID-19. Sementara layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan test PCR masih minim karena masih terbatasnya penyelenggaraan dan akses yang tersedia.

Akses terhadap pelayanan kesehatan adalah bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia secara keseluruhan.[3] Prinsip dasar terhadap pemenuhan hak atas kesehatan berdasarkan General Comment Nomor 14 Tahun 2000 negara wajib memerhatikan ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas atas layanan kesehatan kepada masyarakat. Persiapan dan penanganan yang minim dari negara berdampak  pada tidak terkontrolnya angka penyebaran, penularan, serta penanganan COVID-19 di masyarakat.

  • Hak atas informasi

Dalam konteks penanganan pandemi, informasi yang valid, terpercaya dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali. Hal itu sangat penting karena di tengah ketiadaan vaksin, keselamatan warga tergantung pada informasi tentang upaya pencegahan dan pengendalian prilaku individu. Namun, pada awal penyebaran COVID-19, pemerintah justru melakukan hal yang sebaliknya. Keterlibatan Badan Intelenje Negara (BIN) melalui operasi senyap, penyampaian informasi yang tidak utuh, penyangkalan dan inskonsitensi pernyataan dan informasi para elit politik dan pejabat negara terhadap kerentanan dan penanganan kedaruratan COVID-19 di Indonesia justru memperburuk krisis dan menimbulkan ketidakpastian, ketidakjelasan penanganan krisis.

Hingga Maret, pemerintah terus menutupi dan memonopoli informasi mengenai sebaran daerah merah yang menyulitkan tidak hanya publik tapi juga pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan memadai. Ketertutupan dan penyangkalan atas informasi, justru telah memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah dan memperparah bencana. Sejumlah kasus yang membahayakan kesehatan dan pelanggaran hak asasi yang merupakan dampak dari tidak terpenuhinya hak atas informasi diantaranya prosedur penggunaan disinfektan, penggunaan obat-obatan dan suplemen yang tidak disarankan, pelanggaran privasi hingga praktik diskriminasi seperti penolakan pemakaman jenazah yang terpapar COVID-19.

Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban menyampaikan informasi dari sejumlah peraturan seperti pasal 154 Jo. 155 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan menyebar dalam waktu singkat, serta Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 19 Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 14 UU 39.1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya merupakan jaminan hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

  • Hak atas fair trial

Dalam kurun waktu 5 Maret- 21 April 2020, kami mencatat terdapat 93 peristiwa penindakan oleh aparat berkaitan dengan ancaman kebebasan sipil selama masa PSBB. Sejumlah peristiwa seperti penangkapan sewenang-wenang (17 kasus), penangkapan dengan tuduhan penghinaan pejabat negara (8 kasus) dan penanganan hoax (41 kasus), problem akses terhadap bantuan hukum pada pendampingan kasus seperti dalam kasus kelompok anarko dan Ravio Patra menunjukkan kesewenangan aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.

Pembatasan Sosial Bersekala Besar, yakni khususnya yang terkait dengan pembatasan berkumpul, haruslah mengacu pada aturan perundang-undangan, hal ini jelas bahwa penerapan PSBB suatu wilayah haruslah berdasarkan penetapan dari Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari Kepala Daerah, sehingga tidak serta merta dengan dalil PSBB yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, dijadikan alat dan tafsir serampangan oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan pembubaran, mengingat dari data pendokumentasian yang kami lakukan, banyak wilayah yang belum menerapkan status PSBB yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, aparat keamanan dengan tindakan yang sewenang-wenang melakukan aksi-aksi pembubaran, hal ini bertentangan dengan jaminan hak kebebasan berkumpul, dimana hak kebebasan berkumpul dijamin oleh undang-undang dan dapat dibatasi sesuai dengan standar hukum dan HAM. Sehingga sudah sepatutnya aparat penegak hukum dilapangan dan di daerah-daerah harus memahami bahwa pembubaran hak atas berkumpul belum dapat dilakukan sebelum adanya penetapan status PSBB yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.

Disisi lain kami juga menyoroti tindakan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan, yang kami nilai tindakan-tindakan tersebut justru bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dalam mencegah penyebaran virus COVID-19 di lingkungan penahanan, seperti halnya regulasi yang dikeluarkan oleh kementrian Hukum dan HAM dalam bentuk asimilasi terhadap sejumlah tahanan, sementara kami tidak pernah mendapatkan jawaban informasi terkait regulasi yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian dalam mengantisipasi dan mencegah penyebaran virus COVID-19 terhadap para tahanan yang berada dibawah kewenangan institusi kepolisian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline