Lihat ke Halaman Asli

Harry Puguh

Sustainability Profesional

Jakarta oh Jakarta

Diperbarui: 14 April 2021   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi penulis

Baru-baru ini Jakarta menjadi urutan nomer 20 kota paling mahal untuk dihuni, masuk dalam group kota-kota yang mungkin menjadi bagian dari mimpi kita untuk kita kunjungi, Hongkong, New York, San Fransisco, Geneva, dll.

Merenungkan kembali, ketika kota makin diimpikan untuk ditinggali menjadi tempat dimana kita harus mengeluarkan banyak biaya untuk tinggal dikota itu.

kita bisa membayangkan betapa nyamannya kota itu, betapa modernnya kota itu, pelayanan yang paripurna serta penghasilan yang cukup untuk kita bisa hidup dan tinggal.

Saya menjadi teringat ketika teman saya yang masih muda, dengan penghasilan yang tinggi, bersama suaminya, baru-baru ini berencana membeli rumah untuk tempat tinggal. Dan harus menyerah dengan membeli rumah mungil di pinggiran Jakarta seharga 1.4 M dengan cicilan 10 jt per bulan. 

Dengan penghasilan yang cukup besar, dia hanya bisa mendapatkan rumah di pinggiran jakarta dengan harga yang sangat mahal, sementara banyak sekali rumah-rumah ditawarkan dengan harga selangit, minimal empat miliar untuk mendapatkan apartemen baru ditengah kota, apalagi rumah, bisa berharga puluhan miliar.

Dan tetap dengan harga segitu, masih banyak orang yang mampu membelinya, mungkin dengan mudah mereka membelinya, dan kita tidak tahu siapa mereka itu yang mampu membeli rumah atau apartmen seharga itu.

Pekerjaan apa yang memungkinkan kita membeli rumah seharga itu? itu pertanyaan yang selalu kita diskusikan, ataukah pekerja korporasi seperti kita sanggup membelinya? saya yakin tidak ada untuk orang bisa supaya sanggup membelinya.

Kalau masih saja menjadi pekerja korporasi, kita yakin seumur hidup kita akan sibuk dengan membayar cicilan mobil, cicilan rumah, pinjaman koperasi di kantor kita, sampai pada saat pensiun, kita cuma memiliki aset di pinggiran kota Jakarta, kehilangan banyak teman dan sendirian. 

Pada saat itu kita kebingungan menbayar pajak rumah, pajak kendaraan, menganggur disaat usia masih produktif serta kesepian karena kita cuma hidup dengan pasangan kita di kota besar yang dingin.

Miris memang, kita bekerja bertahun-tahun bahkan dengan sikut-sikutan, berjibaku dengan macetnya jakarta, menghadapi bos yang kurang menyenangkan, berakhir dengan tabungan sekadarnya, rumah satu-satunya dipinggiran dan mobil yang pajaknya menggerus tabungan tanpa tambahan penghasilan lain.

Hal itu yang membuat kita harus berpikir, bagaimana agar pensiun dari pekerjaan korporasi kita masih bisa aktif bekerja produktif, sehingga kita perlu strategi yang jitu untuk memiliki kebebasan finansial dan menjadi bagian dari industri, jangan menjadi pekerja selamanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline