Lihat ke Halaman Asli

Perlukah Revolusi Kebudayaan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_148450" align="aligncenter" width="300" caption="Hotel Oranye Surabaya."][/caption] Tahun 1927, Soekarno melahirkan strugle theory: Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sosio demokrasi adalah demokrasi di bidang politik dan demokrasi di bidang ekonomi. Tapi Soekarno juga memberi catatan penting. Sosio Demokrasi tak mungkin terwujud kalau Sosio Nasionalisme belum terjadi. Sosio Nasionalisme dalam hermeneutik Soekarno maknanya adalah berkepribadian di bidang budaya. Dengan kata lain, bangsa yang dipikul dan memikul naturnya. Tapi apa lacur, perjalanan bangsa Indonesia tak sesuai dengan semangat Soekarno. Bahkan Hatta, tahun 1933 di Koran Fikiran Rakyat pernah menulis, jika pasca kemerdekaan bangsa Indonesia dipimpin kaum priyayi maka indonesia (dengan huruf kecil) tidak mungkin menjadi INDONESIA. Jalan mewujudkan strugle theory kemudian dielaborasi oleh Soekarno dengan diskursus: samen bundeling van ale revolusionare krachten, mengubah keadaan yang tua menjadi keadaan yang baru. Keadaan yang tua diindikasikan jika masih ada kolonialisme dan imperialisme. Keadaan yang baru adalah sebuah realitas sosial yang tidak mengijinkan seorangpun menghisap darah orang lain. Untuk bisa mencapai keadaan itu, diperlukan manusia-manusia yang radikal, progresif, dan revolusioner. Radikal artinya mencabut sampai ke akar-akarnya. Maka, dalam sidang BPUPKI 28 Mei - 1 Juni 1945, sekali lagi ditegaskan: Negara Rakyat Indonesia menolak segala tata negara atau bagian-bagiannya yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan dan pikiran. Negara Rakyat Indonesia menolak segala paham: federalisme, feodalisme, monarkhi, liberalisme, autokrasi dan birokrasi, serta demokrasi barat. Manusia-manusia progresif artinya yang mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, kepentingan umum, kepentingan bangsa, dan kepentingan negara. Revolusioner artinya kita membangun oleh sebab itu kita menjebol. Build tommorow, puldown yesterday. Dan orang-orang tersebut harus mampi mengiming-imingi rakyat, meggerakkan rakyat untuk mengisi kemerdekaan, dengan syarat harus memiliki technical knowhow Apakah Negara Republik Indonesia ada? Jika kita cermat membaca UUD Republik Indonesia 1945 pada pasal terakhir yang bunyinya:

ATURAN PERTAMBAHAN

(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.

(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Ayat (1) menunjukkan seuah situasi yang belum pasti. Sebab kapan peperangan Asia Timur Raya selesai tidak bisa diramalkan. Ayat (2) tidak pernah terjadi karena yang namanya MPR tidak bisa dibentuk hingga lahirnya orde baru. Jadi jelasnya, bisa disimpulkan bahwa oleh karena MPR tidak pernah terbentuk dan dengan sendirinya Undang Undang Dasar yang baru juga tidak ada, maka UUD 1945 otomatis batal dengan sendirinya. Artinya juga pemilu pertama 1955 juga tidak sah. Pada sidang Konstituante 1959 yang buntu itu, seharusnya Soekarno datang kepada sidang dan mengatakan: "Hai Konstituante, daripada kalian berlama-lama tidak bisa menetapkan UUD yang baru, sebaiknya buatlah Ketetapan Kembali ke UUD 1945". Tetapi yang dilakukan Soekarno malah mengeluarkan dekrit yang sebenarnya tidak diatur dalam UUD 1945 tentang hak, tugas dan tanggung-jawab serta  kewajiban Presiden. Jadi Negara Republik Indonesia tidak pernah ada paling tidak sejak satu tahun ditetapkannya UUD 1945. Kerananya, kita perlu menyusun strategi kebudayaan untuk bisa meluruskan sejarah agar di kemudian hari tidak menjadi bahan cibiran anak-cucu kita bahwa kakek-kakek mereka tidak becus mengurus kemerdekaan apalagi mengisi kemerdekaan. Jalan keluarnya penulis serahkan kepada para kompasioner yang budiman. Sebab Revolusi Kebudayaan bukan berarti sebuah revolusi yang berdarah-darah melainkan sebuah revolusi perubahan paradigma bahwa kita harus berkepribadian di bidang budaya terlebih dahulu, baru bisa berdemokrasi di bidang politik dan berdemokrasi di bidang ekonomi. Marin kita berpikir dengan jernih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline